Minggu, 25 Desember 2016 0 komentar

Jatinangor's Crimes Know No Mercy

Handphone-ku hilang.

Jadi, hari Jumat kemarin, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan aku kembali Jumatan di masjid kampus. Biasanya sih aku Jumatan di masjid kampus ITB, yang memang lebih dekat dari kosanku, tapi hari itu aku memutuskan untuk Jumatan di kampus. Rencananya, sebelum dan sesudah Jumatan aku ingin menggarap silabus dan handbook TOEFL di taman kampus FISIP dan sekitar sekre BEM.

But things turned out differently.

Setelah Jumatan, aku memutuskan untuk membeli beberapa potong roti dan sebotol air mineral sebagai makan siangku sebelum pergi ke taman FISIP untuk mengetik. Warung tempat aku beli itu memang cukup sesak. Ruangannya tidak memungkinkan untuk melayani lebih dari lima orang, kurasa. Apalagi orang-orang dengan volume tubuh sepertiku.

Siang itu, keadaan warung pun cukup sesak. Ada beberapa orang yang tengah berbelanja ketika aku datang. Akupun masuk, mengambil sebotol air mineral dan dua potong roti, kemudian membayar kepada bapak pemilik warung. Ketika berlangsung transaksi, aku merasakan sesuatu di dalam tasku, seperti ada yang membuka zipper-nya, akupun menjulurkan tangan kebelakang untuk memeriksanya. Tapi saat itu kupikir tidak ada apa-apa. Lagipula, mana mungkin orang mau mencuri di tengah keramaian Gerbang Lama seperti itu?

Ketika aku sampai ke taman FISIP, dan bersiap membuka laptopku, handphone Andromax R2 warna hitam metalik itu tiba-tiba kusadari raib dari kantong tasku. Hilang begitu saja.

Praktis, sepanjang siang hingga sore itu, rencanaku untuk bekerja gagal total. Selain shock, aku juga disibukkan dengan melacak gawaiku melalui Google Device Manager. Nihil, siapapun yang berhasil memegang gawaiku pasti sudah mematikannya. Jejak GPS di Google Maps hanya berujung di warung tempat aku berbelanja tadi.

Andromax R2 yang aku beli dari hasil mengajar berminggu-minggu itu lenyap digasak pencuri.

* * *

Meskipun Jatinangor memiliki banyak hal yang patut disyukuri, dalam hal kriminalitas tempat ini bisa dibilang cukup ngeri. Handphone, dompet, hingga motor sering jadi sasaran empuk para maling.
Banyaknya mahasiswa di tempat ini menjadikan ia semacam tambang emas bagi para kriminal berotak jahat. Mereka tak segan-segan membobol kamar kosan, bahkan melakukan kekerasan demi merampas benda-benda berharga. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita berjaga-jaga agar tidak menjadi korban.

Berikut beberapa tips yang bisa dipraktekkan supaya kita tidak menjadi sasaran:

1. Biasakan kunci kamar kos ketika bepergian keluar.

Kosan sebagai tempat menyimpan barang-barang berharga sering jadi target utama. Karenanya, jangan pernah lupa mengunci kamar kosan ketika bepergian keluar, supaya tidak memberi peluang kepada para kriminal untuk beraksi. Jika ada pengaman tambahan seperti selot atau gerendel pintu, gunakanlah agar kemungkinan maling dapat membobol masuk jadi lebih kecil.

2. Jangan biasakan membuka jendela kamar ketika tidur atau istirahat siang.

Meskipun pintu kita sudah terkunci rapat, para penjahat tidak segan untuk mencoba membobol kamar dengan merogoh kunci melalui jendela yang terbuka lebar. Jika ingin membuka jendela untuk menyegarkan sirkulasi udara, pastikan kamu sedang di dalam, dan sedang dalam keadaan sadar sepenuhnya.

3. Parkirlah kendaraan di tempat yang disediakan, atau di area yang terdapat tukang parkir.

Beberapa tempat kos di Jatinangor memiliki posisi yang tidak strategis untuk kendaraan. Letaknya yang harus melewati gang-gang sempit membuat motor atau mobil tidak bisa masuk. Ini kadang membuat orang yang berkunjung memilih untuk memarkir kendaraannya di pinggir jalan Jatinangor. Hindari parkir sembarangan di pinggir jalan. Jika tidak memungkinkan untuk memarkir kendaraan di tempat yang mudah diawasi, parkirlah di tempat-tempat yang terdapat tukang parkir yang mengatur. Jangan lupa gunakan pengaman berlapis seperti kunci ganda, kunci dingdong, atau gembok ban.

4. Jika tidak ada yang bisa dititipi, bawa barang bawaan anda sendiri, awasi dengan hati-hati.

Adakalanya repot juga memang kalau harus bawa gendongan atau jinjungan ke mana-mana. Kadang kita butuh seseorang yang bisa dititipi barang ketika kita sedang butuh ke kamar mandi, misalnya. Kecuali kepada orang terdekat yang anda percayai, jangan gampang menitipkan barang berharga pada orang lain. Walau repot, tetap lebih aman membawanya sendiri walaupun orang yang anda titipi tidak berniat mencuri.

5. Jika anda pikir Masjid aman dari pencurian, pikir lagi.

Ironis memang, sebuah tempat di mana disebut dan dibacakan kalam Tuhan tetap tidak steril dari tindak pencurian. Memang begitu kenyataannya. Jika anda sedang shalat, taruh barang bawaan anda di tempat yang lagi-lagi gampang diawasi. Beberapa masjid menyediakan ruang di mihrab, di sebelah imam, sebagai tempat menyimpan barang bawaan. Beberapa yang lain menyediakan ruang antar shaf yang cukup lebar untuk sebuah ransel, jika demikian taruh ransel dalam posisi horizontal di depan batas sujud. Selain mudah diawasi, ransel juga dapat berfungsi sebagai sutrah. Jika tidak ada tempat di mihrab dan di sela-sela shaf, letakkan ransel atau bawaan dalam posisi vertikal di atas sajadah. Posisikan sedemikian rupa sehingga ketika sujud tubuh anda akan melingkupi barang bawaan tersebut, dan pastikan posisi barang bawaan tidak menyulitkan untuk duduk iftirosy atau tawarruk.

6. Ketika berada dalam situasi keramaian yang sesak, pegang barang berharga anda erat-erat, atau letakkan dalam posisi yang mudah dijangkau.

Ini yang harusnya aku lakukan kemarin, tapi yang sudah terjadi ya sudahlah. Intinya, ketika dalam posisi yang sangat crowded, pegang erat-erat barang berharga anda (dompet dan gawai, misalnya), atau taruh di tempat yang mudah dijangkau. Misal anda menggunakan ransel, gendong ransel tersebut di depan dada supaya lebih mudah dijangkau dan diawasi.

Secara teologis, apapun yang sudah terjadi pada diri kita hakikatnya sudah tercatat dalam takdir Tuhan, dan tidak ada seseorang atau sesuatu apapun yang dapat menghalangi jika kehendakNya sudah dititahkan. Namun, sebagai manusia tugas kita adalah berikhtiar, memilih cara-cara dan sarana supaya kita memperoleh takdir Tuhan yang terbaik.

Ketika sudah jadi korban, maka tugas kita adalah untuk bersabar. Jika dalam posisi belum menjadi korban (na'udzubillah), maka tugas kita adalah sebisa mungkin menghindar dan menjaga.

Stay safe.


   

Kamis, 20 Oktober 2016 0 komentar

Tidak begini, tidak begitu

Entah kenapa, semakin bertambah usia, aku semakin meyakini bahwa di dunia sekarang ini agak sulit untuk menilai segala sesuatunya secara hitam putih. Secara normatif, tentu saja, hitam dan putih seringkali diposisikan dengan garis batas yang jelas dan terang, namun pada kenyataannya banyak fenomena-fenomena di dunia ini yang belang: ada hitamnya, ada pula putih yang tersapu di sana-sini.

Njelimet ya? baik, aku beri sedikit ilustrasi supaya ada titik terang. 

Fenomena figur publik yang merokok, misalnya. Banyak orang setuju bahwa merokok adalah aktifitas yang mudharat. Selain asapnya yang menyimpan segunung bahaya kesehatan, aktifitas merokok bisa juga dipandang sebagai suatu pemborosan: membakar uang demi beberapa hisap nikotin yang meninggalkan jejak adiksi bagi para penikmatnya. Banyak pula orang setuju bahwa aktifitas ini tidak seharusnya ditiru, dan dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. 

Banyak dari kita setuju dengan poin-poin di atas. 

Nah, di awal pemerintahan presiden yang baru menjabat dua tahun ini, salah satu kontroversi yang mencuat adalah dilantiknya seorang menteri perempuan yang punya sisi-sisi yang "anti-mainstream", selain rekam jejaknya yang membuat orang mungkin berdecak kagum, ada satu sisi yamg dipandang sebagai sebuah cela: sang menteri adalah perempuan yang merokok. Hebohlah media massa seantero negeri. Termasuk di antaranya komentar dari seorang ustadz termasyhur yang mengatakan bahwa sang menteri tidak cocok jadi teladan. 

Seiring berjalannya waktu, sang menteri pun ternyata menunjukkan kebijakan-kebijakan yang direspon positif oleh publik. Ketegasannya dalam menghadapi para pencuri ikan di perairan Indonesia menjadi info hangat yang menghiasi corong-corong berita. Tato di kaki dan kebiasaan merokok tak lagi menjadi halangan untuk menghargai integritasnya. 

Nah, dari sini aku belajar bahwa mungkin ada kebaikan-kebaikan yang memiliki bercak-bercak hitam dan cela, sebagaimana ada keburukan yang mungkin masih ada sedikit cercah-cercah kesucian di dalamnya. Sang menteri mungkin punya cacat di sana-sini, namun bukan berarti kita tak bisa menghargai hasil kerja beliau yang profesional, bukan berarti pula kita memposisikannya sebagai teladan yang kita tiru bulat-bulat segala tindak-tanduknya.

Bisa dibilang, sikapku tidak begini, tidak pula begitu. Ada ruang-ruang kompromi di sana-sini. 

* * * 

Akhir-akhir ini, perhatian publik Indonesia banyak tersedot pada event lima tahunan, yang terjadi di satu wilayah kecil namun gaungnya sampai nyaris ke seluruh negeri. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tengah menjadi bahan obrolan panas di sana-sini, dari diskusi-diskusi di layar televisi hingga obrolan-obrolan santai di warung kopi. Tidak terkecuali jagat maya seluruh negeri yang disesaki berbagai opini.

Indonesia, yang disebut oleh Al-Jazeera sebagai The Social Media Capital, punya publik yang sangat responsif terhadap gonjang-ganjing apapun yang terjadi di media sosial. Nggak terhitung banyaknya isu-isu yang beberapa kali membuat media sosial bergolak, mulai dari sang menteri yang aku sebut di atas sampai persoalan "4 dikali 6 atau 6 dikali 4". Fasilitas yang disediakan media sosial berupa ruang bebas untuk bersuara menyebabkan retorika dan opini yang muncul pun begitu beragam.

Nah, di tengah riuhnya pertukaran opini ini, sikapku pun tidak berubah. Seringkali aku menyetujui pendapat di satu sisi, namun tidak menyetujui pendapat di sisi lainnya karena bisa jadi pendapat yang aku setujui punya titik-titik retorika yang cacat, atau pendapat yang tidak aku sepakati punya nilai kebenaran di lihat dari sudut yang lain.

Namun sepertinya, bagi para partisan, agak sulit untuk memiliki ruang kompromi. Bagi mereka, mungkin, semua pihak yang berseberangan dengan apa atau siapa yang mereka perjuangkan harus dilihat secara total sebagai lawan atau musuh; tidak ada sedikitpun ruang untuk melihat kebaikan mereka.

Begitupun dengan para pihak yang menyuarakan kesetujuan terhadap opini-opini mereka, seringkali tidak ada ruang untuk melihatnya dalam kacamata yang lebih kritis. Tidak sedikit contoh di mana para partisan menyebarkan informasi yang mendukung cause mereka namun kemudian informasi tersebut terbukti hoax atau misinformasi. Sudah kepalang tersebar, nggak bisa ditarik lagi. Malu jadinya.

Mungkin tidak banyak juga yang berpikir sepertiku, bahwa bersikap hitam putih dalam hal dukung-mendukung dan menyikapi isu-isu politik bisa jadi bukan sikap yang tepat. Politik adalah masalah siasat, kadang-kadang siasat itupun mengharuskan para pelaku politik untuk bersikap fleksibel, untuk tidak mengatakan plin-plan. Kadang-kadang, ide atau ideologi yang membuat kita mendukung suatu sosok atau kelompok politik tertentu harus dibengkokkan demi mencapai kepentingan tertentu. Bahasa beratnya, pragmatis. 

Makanya, menurutku sih nggak perlu ekstrim-ekstrim amat mendukung atau memusuhi pihak politik tertentu. Kata peribahasa itu, tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Mungkin terlalu simplistik, tapi bisa jadi ada benarnya. Kita nggak pernah tahu sampai kapan sosok atau kelompok yang kita dukung akan tetap dalam pendiriannya. Dan kita juga nggak tau sampai kapan sosok dan kelompok yang kita selisihi akan berdiri di atas sesuatu yang tidak kita sepakati. Sepanjang ada kepentingan, semua itu bisa saja berubah-ubah.

Apalagi kalo kita harus mengorbankan keakraban dengan kerabat dan sahabat hanya karena kurang fleksibel dalam hal dukung-mendukung figur politik.

Ah, sayang sekali. Dunia terlalu indah untuk sekadar dibikin ribut-ribut urusan pilkada.

Jangan gitu-gitu amat, ah. 
Sabtu, 12 Maret 2016 0 komentar

Barakah: Menggali Kemilau Tradisi

Tahun 2014, 2015, dan 2016 merupakan tahun-tahun yang produktif bagi Sami Yusuf. Setelah meluncurkan The Centre pada 2014 dan Songs of The Way pada 2015 lalu, musisi Inggris kelahiran Teheran ini kembali meluncurkan album di bawah label Andante Studios. Album ketujuhnya ini (kedelapan, jika kita memasukkan Without You yang masih dipersoalkan keabsahannya) diberi judul Barakah. Album ini memiliki track list sebagai berikut:

1. The Parties

2. Inna Fil Jannati

3. Hamziyya

4. Ya Rasul Allah 1

5. Ya Rasul Allah 2

6. Fiyashiyya

7. Ya Nabi

8. Ben Yururum Yane Yane

9. Araftul Hawa

10. Ya Hayyu Ya Qayyum

11. Taha

12. Asheqan

13. Barakah

14. The Iron

Berbeda dengan album-album sebelumnya, Barakah dimulakan dan diakhiri dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Di awal album kita akan mendengarkan seorang qari membacakan beberapa ayat surah Al-Ahzab, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Parties, dan di akhir album kembali dibacakan beberapa ayat Al-Qur’an, kali ini beberapa ayat surah Al-Hadid yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Iron. Hal ini sepertinya menyesuaikan dengan tradisi komunitas Muslim yang biasa mengawali acara-acara resmi dan perkumpulan dengan bacaan Al-Qur’an.

Begitupun dengan keseluruhan track album ini, Sami Yusuf kali ini memilih untuk tidak melakukan sendiri proses kreatif penulisan lagu-lagu dalam keseluruhan album ini. Dalam album ini beliau mendendangkan lagu-lagu yang bersumber dari syair, nasyid, dan musik sufi yang sudah menjadi tradisi dan masyhur di peradaban-peradaban Islam. Sebut saja lagu Fiyashiyya yang merupakan qasidah tradisional yang populer di Maroko, Ben Yururum Yane Yane yang merupakan syair gubahan penyair sekaligus sufi Turki terkenal Yunus Emre, serta Araftul Hawa yang liriknya dinisbatkan kepada Rabi’ah Al Adawiyah.

Beragamnya tradisi yang menjadi sumber album ini juga menjadikannya sangat berwarna dalam hal musikalitas. Tidak seperti My Ummah yang kental nuansa pop Arab atau The Centre yang bernuansa Persia, lagu-lagu dalam album ini dinyanyikan dalam nuansa yang sangat beragam. Ketika mendengarkan senandung Ya Nabi kita akan disuguhi musik berirama India dengan lirik berbahasa Arab, sementara Ben Yururum Yane Yane akan mengingatkan kita pada irama musik yang biasa digunakan dalam pertunjukan tarian sufi atau whirling dervishes di semenanjung Anatolia. Susunan musik dalam album ini pun tidak begitu “berat” dan tidak menggunakan banyak alat musik strings seperti dalam album-album sebelumnya. Beberapa lagu bahkan dinanyikan secara acapella atau hanya menggunakan tabuhan rebana.

Di tengah tren seni Islam kekinian yang semakin mengikut arus budaya pop, album ini hadir layaknya angin segar. Barakah membuktikan bahwa seni Islam memiliki warisan-warisan tersendiri yang tersebar dari Andalusia hingga anak benua India. Ia hadir sebagai bentuk ekspresi kecintaan hamba pada Tuhan dan RasulNya, dengan bernafaskan budaya-budaya lokal, serta dapat dikemas dengan sangat bagus tanpa harus mengkompromikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Album Barakah dapat didengarkan di sini.
 
;