"Kuliah di sini dek?" Tanyanya berbasa-basi. Akupun mengiyakan.
"Semester berapa?" tanyanya lagi. Ini jenis pertanyaan sensitif yang tidak begitu aku sukai.
"Lagi skripsi pak," jawabku sambil tersenyum.
"Oh, semoga cepet selesai ya," katanya dalam bahasa Sunda.
"Gini dek, bapak mau minta tolong, boleh enggak?" dia bertanya lagi. Setelah aku bertanya apa yang jadi hajatnya, dia menjelaskan.
"Mau enggak dek bantu bapak supaya enggak murtad. Bapak mau beli kitab Shahih Bukhari, harganya Rp. 240.000. Bisa bantu bapak enggak dek?"
Well, that escalated quickly. Dari nanya-naya semester berapa, tiba-tiba malah jadi ke masalah murtad. Lagipula, mau murtad atau tidak, itu 'kan ujungnya ada di pilihan dia. Kenapa tiba-tiba urusannya jadi minjem duit? Dan, oh, kalo orang mau murtad berarti bisa disimpulkan imannya lagi down. Tapi...membaca Shahih Bukhari sendirian, tanpa guru, itu mah harusnya udah level orang alim yang imannya minimal enggak gampang goyah!
Berjuta pertanyaan meletup di kepala, tapi aku sudah terlampau hapal. Ini sih model-model pengemis dramatis yang suka berkeliaran di sekitar Bandung - Jatinangor. Dengan sopan, permintaannya kutolak.
"Maaf pak, enggak ada. Kemarin uang saya habis buat servis laptop," kataku. Sehari sebelumnya memang aku membeli charger laptop baru yang membuat rekeningku tersedot. Aku tidak sedang berbohong.
"Kalo gitu bapak pinjem dua puluh ribu aja dek, buat pulang," hibanya dengan suara agak memelas. "Kaki bapak patah dek, dari tadi cari pinjaman sampai ke Cicalengka enggak dapet," kemudian ia menyingkap betisnya yang dibebat perban cokelat.
Perasaan tadi pas dia jalan mendekat sama sekali enggak pincang, batinku.
Lagipula, dia tidak memakai tongkat berjalan. Padahal, untuk sampai ke basement masjid kampus harus menuruni anak tangga. Gimana caranya orang patah kaki turun anak tangga tanpa tongkat berjalan?
Lagipula, dia tidak memakai tongkat berjalan. Padahal, untuk sampai ke basement masjid kampus harus menuruni anak tangga. Gimana caranya orang patah kaki turun anak tangga tanpa tongkat berjalan?
Aku berkeras menolak, meski dengan halus, tapi si bapak berkopeah meuni keukeuh. Tampaknya ia tidak akan enyah sebelum isi dompetku bertransmigrasi ke sakunya.
"Kalo gitu berapa aja deh dek, buat nengokin anak bapak yang gegar otak."
Tadi mau murtad, trus kaki patah, terakhir anak gegar otak. Kenapa dalam jangka waktu kurang dari sepuluh menit keluhannya berubah-ubah dan beraneka ragam?
"Hapunten pak, enggak ada," timpalku sehalus mungkin dengan senyum yang berusaha lebih manis dari model iklan pasta gigi. Aku memang bukan orang yang suka konflik terbuka, jalan yang sering aku pilih adalah dengan menjadi pasif-agresif.
"Oh, gitu...ya udah deh, Assalamualaikum." Si bapak tambun berkopeah pamit undur diri, meninggalkanku yang geleng-geleng kepala sambil nyengir kuda.
* * *
Sebelum dihakimi massa sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan dengan menolak permintaan tolong orang lain, aku jelasin ya: itu semua cuma modus!
Iya, cuma modus. Sudah bukan sekali-dua kali aku ketemu dengan orang-orang semacam si bapak kopeah tadi. Pertama kali aku berhadapan dengan sosok pengemis dengan cerita mengenaskan adalah sekitar tahun 2010, zaman-zaman masih jadi mahasiswa lugu. Ketika itu aku baru saja menyelesaikan shalat Dzuhur di Masjid Ibnu Sina ketika seseorang mendekatiku dan menceritakan tentang anaknya yang tengah sakit keras. Dia butuh uang untuk biaya pengobatan anaknya, katanya. Jadi ya aku berikan sekedar selembar yang ada di sakuku waktu itu.
Pernah juga seorang ibu-ibu mengetuk pintu kamar kosanku menjelang tengah malam. Dia diturunkan dari angkutan umum, katanya. Malam-malam, enggak bisa pulang, butuh uang. Waktu itupun aku masih mau membantu walau enggak banyak.
Sampai akhirnya, aku tahu kalau kisah-kisah ketiban sial tadi hanya tipuan demi mendapatkan rupiah. Pasalnya, orang yang pertama kali menipuku di masjid Ibnu Sina tadi suatu kali bertemu lagi denganku, dan dia masih menceritakan kisah kemalangan yang persis sama. Di situ aku mulai curiga.
Sepertinya ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemalangan. Ini agaknya masalah mata pencaharian.
* * *
Tunggu.
Bagiku menolak para penipu tadi bukan masalah sayang uang. Agamaku mengajarkan bahwa berbuat baik sudah dihitung dari niatnya. Jadi sekiranya aku memberikan sedikit rupiah dengan berniat berbuat baik pun, Insya Allah, akan dihitung sebagai suatu kebaikan. Masalah si peminta tadi menipu atau jujur, itu urusan dia dengan Allah. Bagiku, jauh lebih baik uang yang tidak banyak itu jadi tambahan timbangan amalku daripada berakhir hanya ditukar dengan sebungkus gorengan yang bertransformasi jadi segumpal feses esok harinya.
Bagiku menolak para penipu tadi bukan masalah sayang uang. Agamaku mengajarkan bahwa berbuat baik sudah dihitung dari niatnya. Jadi sekiranya aku memberikan sedikit rupiah dengan berniat berbuat baik pun, Insya Allah, akan dihitung sebagai suatu kebaikan. Masalah si peminta tadi menipu atau jujur, itu urusan dia dengan Allah. Bagiku, jauh lebih baik uang yang tidak banyak itu jadi tambahan timbangan amalku daripada berakhir hanya ditukar dengan sebungkus gorengan yang bertransformasi jadi segumpal feses esok harinya.
Tapi, biar bagaimanapun, waspada adalah langkah yang jauh lebih baik. Inget Bang Napi, satu tokoh bertopeng setengah yang selalu muncul di salah satu program berita kriminal di salah satu televisi swasta itu? Jargonnya yang terkenal adalah
"Ingat, kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah!"
Tindakan meminta-minta uang dengan menggunakan kisah-kisah fiksi mengenai kemalangan dan kesialan yang menimpa mereka adalah satu tindak penipuan yang (entah ada undang-undangnya atau enggak, tapi harusnya sih) melanggar hukum. Minimal, secara etis bukan sesuatu yang pantas dilakukan, memanfaatkan rasa belas kasihan orang lain untuk mengeruk keuntungan. Tapi ah, jangankan perkara etika, perkara hukum legal yang memiliki hukuman langsung saja aku ragu kalau mereka peduli. Paling mereka tidak ambil pusing dengan etika, apalagi agama.
Jadi ya...aku memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam mendonasikan sebagian uangku. Aku sama sekali tidak ingin memberikan secuilpun kesempatan untuk para aktor-aktris murahan merangkap kriminal ini. Kalaupun ingin menyumbang, lebih baik aku mendonasikan ke lembaga-lembaga yang lebih jelas pertanggungjawaban keuangannya: uang saya dipakai apa, larinya ke mana.
* * *
Suatu kali, ketika aku hendak shalat 'Ashr di masjid Al-Huda Jatinangor sehabis sebuah perjalanan, aku mendapati seorang lelaki yang duduk di ambang pintu masuk masjid dengan wajah ditekuk. Di dekatnya, seorang anak perempuan nampak bermain dengan riang, kontras dengan kesedihan yang tampak di wajah bapaknya.
"Mas, mau pengajian ya?" tanyanya. Kebetulan saat itu akan ada kajian dari ikhwan Salafi.
"Enggak. Mau shalat," jawabku.
"Mas, mau nggak beli HP saya?" tanyanya. Iapun menyebutkan sebuah nominal.
Kemudian dia menceritakan bahwa tas dan barang-barangnya dicuri ketika sedang beristirahat di SPBU. Kini bensin di motornya habis, ditambah lagi oli di motornya yang bocor. Tanpa uang sepeserpun untuk pulang kembali ke sebuah daerah di perbatasan Purworejo - Magelang, ia sekarang menawarkan untuk menjual telepon genggamnya demi sedikit rupiah untuk kembali ke rumah.
"Tapi aku enggak butuh HP mas. Gimana dong?" kataku dengan bahasa Jawa ngoko dialek Jogja. Setelah tahu aku orang Tegal dan bisa berbahasa Jawa, dia mengajakku berbicara dengan bahasa tersebut. Wajahnya semakin murung begitu tahu aku tak bisa memenuhi hajatnya.
Masa iya aku mesti beli barang yang aku enggak butuh?
Ia bercerita bahwa dari tadi dia sudah berusaha meminta bantuan orang-orang. Bukan untuk meminta uang, hanya meminjam rekening supaya saudaranya di kampung bisa mengiriminya uang lewat rekening tersebut. Sama sekali tidak ada yang mau membantu.
Akupun bercerita bahwa di daerah Jatinangor banyak penipuan dengan modus terkena musibah dan minta bantuan. Makanya mungkin sekarang banyak orang jadi lebih waspada.
"Harusnya mas tunjukin surat keterangan yang dari polisi itu," kataku. Sesaat sebelumnya ia memang menunjukkan padaku selembar surat keterangan dari polisi bahwa dia telah menjadi korban pencurian. Suratnya sih asli.
Dalam hati, aku sebenarnya ingin sekali membantu si mas-mas pahmud (papah muda) itu, apalagi dia bawa anak perempuan kecil. Tapi ya gimana lagi, pengalaman ketemu para pengemis penipu membuat aku lebih waspada, sekalipun banyak bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa dia bener-bener ibnu sabil, orang yang kehabisan bekal perjalanan.
Enaknya bantuin gak ya?
Tuh 'kan, selain menipu, para pengemis dramatis tadi juga bikin aku jadi mikir seribu kali sebelum bantuin orang, takut kalo si mas itu juga bagian dari komplotan mereka.
Mudah-mudahan pemerintah kecamatan Jatinangor atau kabupaten Sumedang punya semacam Dinas Sosial yang bisa menertibkan para pengemis yang meminta uang dengan cara berpura-pura kena musibah ini.
Abisnya ngeselin, pertama bilangnya mau murtad, trus patah kaki, terakhir malah jadi anaknya yang geger otak.
WTF man?!