Kamis, 24 Desember 2015 0 komentar

Modus Pengemis Dramatis

Minggu pagi. Ketika itu aku tengah duduk bersila di basement Masjid Raya Padjadjaran, atau biasa dikenal juga dengan Bale Aweuhan. Mataku tengah beradu dengan layar laptop yang memancar tidak begitu terang. Dari belakang laptop itu mengekor seutas kabel yang terhubung ke sebuah power outlet yang menempel pada tiang putih. Di depanku terpampang halaman Microsoft Word dengan kursor berkedip-kedip. Ketukan-ketukan jemari di atas papan tuts tidak terdengar oleh telingaku yang tersumpal oleh earphone kecil. Aku tengah mengerjakan skripsi di lantai paling dasar masjid kampus ketika sesosok lelaki tambun berkopeah mendekatiku dengan wajah muram.

"Kuliah di sini dek?" Tanyanya berbasa-basi. Akupun mengiyakan. 

"Semester berapa?" tanyanya lagi. Ini jenis pertanyaan sensitif yang tidak begitu aku sukai. 

"Lagi skripsi pak," jawabku sambil tersenyum. 

"Oh, semoga cepet selesai ya," katanya dalam bahasa Sunda. 

"Gini dek, bapak mau minta tolong, boleh enggak?" dia bertanya lagi. Setelah aku bertanya apa yang jadi hajatnya, dia menjelaskan. 

"Mau enggak dek bantu bapak supaya enggak murtad. Bapak mau beli kitab Shahih Bukhari, harganya Rp. 240.000. Bisa bantu bapak enggak dek?"

Well, that escalated quickly. Dari nanya-naya semester berapa, tiba-tiba malah jadi ke masalah murtad. Lagipula, mau murtad atau tidak, itu 'kan ujungnya ada di pilihan dia. Kenapa tiba-tiba urusannya jadi minjem duit? Dan, oh, kalo orang mau murtad berarti bisa disimpulkan imannya lagi down. Tapi...membaca Shahih Bukhari sendirian, tanpa guru, itu mah harusnya udah level orang alim yang imannya minimal enggak gampang goyah!

Berjuta pertanyaan meletup di kepala, tapi aku sudah terlampau hapal. Ini sih model-model pengemis dramatis yang suka berkeliaran di sekitar Bandung - Jatinangor. Dengan sopan, permintaannya kutolak. 

"Maaf pak, enggak ada. Kemarin uang saya habis buat servis laptop," kataku. Sehari sebelumnya memang aku membeli charger laptop baru yang membuat rekeningku tersedot. Aku tidak sedang berbohong. 

"Kalo gitu bapak pinjem dua puluh ribu aja dek, buat pulang," hibanya dengan suara agak memelas. "Kaki bapak patah dek, dari tadi cari pinjaman sampai ke Cicalengka enggak dapet," kemudian ia menyingkap betisnya yang dibebat perban cokelat. 

Perasaan tadi pas dia jalan mendekat sama sekali enggak pincang, batinku.

Lagipula, dia tidak memakai tongkat berjalan. Padahal, untuk sampai ke basement masjid kampus harus menuruni anak tangga. Gimana caranya orang patah kaki turun anak tangga tanpa tongkat berjalan?

Aku berkeras menolak, meski dengan halus, tapi si bapak berkopeah meuni keukeuh. Tampaknya ia tidak akan enyah sebelum isi dompetku bertransmigrasi ke sakunya. 

"Kalo gitu berapa aja deh dek, buat nengokin anak bapak yang gegar otak." 

Tadi mau murtad, trus kaki patah, terakhir anak gegar otak. Kenapa dalam jangka waktu kurang dari sepuluh menit keluhannya berubah-ubah dan beraneka ragam? 

"Hapunten pak, enggak ada," timpalku sehalus mungkin dengan senyum yang berusaha lebih manis dari model iklan pasta gigi. Aku memang bukan orang yang suka konflik terbuka, jalan yang sering aku pilih adalah dengan menjadi pasif-agresif. 

"Oh, gitu...ya udah deh, Assalamualaikum." Si bapak tambun berkopeah pamit undur diri, meninggalkanku yang geleng-geleng kepala sambil nyengir kuda. 

* * * 

Sebelum dihakimi massa sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan dengan menolak permintaan tolong orang lain, aku jelasin ya: itu semua cuma modus!

Iya, cuma modus. Sudah bukan sekali-dua kali aku ketemu dengan orang-orang semacam si bapak kopeah tadi. Pertama kali aku berhadapan dengan sosok pengemis dengan cerita mengenaskan adalah sekitar tahun 2010, zaman-zaman masih jadi mahasiswa lugu. Ketika itu aku baru saja menyelesaikan shalat Dzuhur di Masjid Ibnu Sina ketika seseorang mendekatiku dan menceritakan tentang anaknya yang tengah sakit keras. Dia butuh uang untuk biaya pengobatan anaknya, katanya. Jadi ya aku berikan sekedar selembar yang ada di sakuku waktu itu. 

Pernah juga seorang ibu-ibu mengetuk pintu kamar kosanku menjelang tengah malam. Dia diturunkan dari angkutan umum, katanya. Malam-malam, enggak bisa pulang, butuh uang. Waktu itupun aku masih mau membantu walau enggak banyak. 

Sampai akhirnya, aku tahu kalau kisah-kisah ketiban sial tadi hanya tipuan demi mendapatkan rupiah. Pasalnya, orang yang pertama kali menipuku di masjid Ibnu Sina tadi suatu kali bertemu lagi denganku, dan dia masih menceritakan kisah kemalangan yang persis sama. Di situ aku mulai curiga. 

Sepertinya ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemalangan. Ini agaknya masalah mata pencaharian. 

* * * 

Tunggu.

Bagiku menolak para penipu tadi bukan masalah sayang uang. Agamaku mengajarkan bahwa berbuat baik sudah dihitung dari niatnya. Jadi sekiranya aku memberikan sedikit rupiah dengan berniat berbuat baik pun, Insya Allah, akan dihitung sebagai suatu kebaikan. Masalah si peminta tadi menipu atau jujur, itu urusan dia dengan Allah. Bagiku, jauh lebih baik uang yang tidak banyak itu jadi tambahan timbangan amalku daripada berakhir hanya ditukar dengan sebungkus gorengan yang bertransformasi jadi segumpal feses esok harinya. 

Tapi, biar bagaimanapun, waspada adalah langkah yang jauh lebih baik. Inget Bang Napi, satu tokoh bertopeng setengah yang selalu muncul di salah satu program berita kriminal di salah satu televisi swasta itu? Jargonnya yang terkenal adalah

"Ingat, kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah!"


Tindakan meminta-minta uang dengan menggunakan kisah-kisah fiksi mengenai kemalangan dan kesialan yang menimpa mereka adalah satu tindak penipuan yang (entah ada undang-undangnya atau enggak, tapi harusnya sih) melanggar hukum. Minimal, secara etis bukan sesuatu yang pantas dilakukan, memanfaatkan rasa belas kasihan orang lain untuk mengeruk keuntungan. Tapi ah, jangankan perkara etika, perkara hukum legal yang memiliki hukuman langsung saja aku ragu kalau mereka peduli. Paling mereka tidak ambil pusing dengan etika, apalagi agama. 

Jadi ya...aku memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam mendonasikan sebagian uangku. Aku sama sekali tidak ingin memberikan secuilpun kesempatan untuk para aktor-aktris murahan merangkap kriminal ini. Kalaupun ingin menyumbang, lebih baik aku mendonasikan ke lembaga-lembaga yang lebih jelas pertanggungjawaban keuangannya: uang saya dipakai apa, larinya ke mana.  

* * *  

Suatu kali, ketika aku hendak shalat 'Ashr di masjid Al-Huda Jatinangor sehabis sebuah perjalanan, aku mendapati seorang lelaki yang duduk di ambang pintu masuk masjid dengan wajah ditekuk. Di dekatnya, seorang anak perempuan nampak bermain dengan riang, kontras dengan kesedihan yang tampak di wajah bapaknya. 

"Mas, mau pengajian ya?" tanyanya. Kebetulan saat itu akan ada kajian dari ikhwan Salafi.

"Enggak. Mau shalat," jawabku. 

"Mas, mau nggak beli HP saya?" tanyanya. Iapun menyebutkan sebuah nominal. 

Kemudian dia menceritakan bahwa tas dan barang-barangnya dicuri ketika sedang beristirahat di SPBU. Kini bensin di motornya habis, ditambah lagi oli di motornya yang bocor. Tanpa uang sepeserpun untuk pulang kembali ke sebuah daerah di perbatasan Purworejo - Magelang, ia sekarang menawarkan untuk menjual telepon genggamnya demi sedikit rupiah untuk kembali ke rumah.

"Tapi aku enggak butuh HP mas. Gimana dong?" kataku dengan bahasa Jawa ngoko dialek Jogja. Setelah tahu aku orang Tegal dan bisa berbahasa Jawa, dia mengajakku berbicara dengan bahasa tersebut. Wajahnya semakin murung begitu tahu aku tak bisa memenuhi hajatnya.

Masa iya aku mesti beli barang yang aku enggak butuh?   

Ia bercerita bahwa dari tadi dia sudah berusaha meminta bantuan orang-orang. Bukan untuk meminta uang, hanya meminjam rekening supaya saudaranya di kampung bisa mengiriminya uang lewat rekening tersebut. Sama sekali tidak ada yang mau membantu. 

Akupun bercerita bahwa di daerah Jatinangor banyak penipuan dengan modus terkena musibah dan minta bantuan. Makanya mungkin sekarang banyak orang jadi lebih waspada. 

"Harusnya mas tunjukin surat keterangan yang dari polisi itu," kataku. Sesaat sebelumnya ia memang menunjukkan padaku selembar surat keterangan dari polisi bahwa dia telah menjadi korban pencurian. Suratnya sih asli. 

Dalam hati, aku sebenarnya ingin sekali membantu si mas-mas pahmud (papah muda) itu, apalagi dia bawa anak perempuan kecil. Tapi ya gimana lagi, pengalaman ketemu para pengemis penipu membuat aku lebih waspada, sekalipun banyak bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa dia bener-bener ibnu sabil, orang yang kehabisan bekal perjalanan.  

Enaknya bantuin gak ya?

Tuh 'kan, selain menipu, para pengemis dramatis tadi juga bikin aku jadi mikir seribu kali sebelum bantuin orang, takut kalo si mas itu juga bagian dari komplotan mereka. 

Mudah-mudahan pemerintah kecamatan Jatinangor atau kabupaten Sumedang punya semacam Dinas Sosial yang bisa menertibkan para pengemis yang meminta uang dengan cara berpura-pura kena musibah ini. 

Abisnya ngeselin, pertama bilangnya mau murtad, trus patah kaki, terakhir malah jadi anaknya yang geger otak. 

WTF man?!  
Senin, 21 Desember 2015 0 komentar

Mengosongkan Gelas

Saya tak ingat kapan persisnya mendengar pertama kali tentang analogi gelas ini. Ah, kalo enggak salah suatu sore di Al-Mushlih Center FIB, dalam sebuah halaqah. Di sana dipaparkan sebuah analogi benak manusia layaknya sebuah gelas. Kadangkala, kata si pembicara, ianya perlu dikosongkan sebelum dapat diisi dengan cairan yang lain. Begitupun dengan benak manusia, terkadang ia harus dikosongkan terlebih dahulu sebelum dapat dimasuki oleh ilmu-ilmu. Dikosongkan dari prasangka, ego, rasa sok tau, dll.

* * *
Di lain kesempatan, saya tengah membaca sebuah artikel tulisan Mohamed Ghilan, seorang Muslim Kanada, doktor bidang Neurosains. Di dalam tulisannya tersebut, brother Ghilan membahas tentang attitude negatif banyak orang, baik dari kalangan Muslim dan Non-Muslim, terhadap Saudi Arabia, khususnya dalam menyikapi berita-berita online tentang Saudi Arabia.

Menariknya, dalam artikel tersebut brother Ghilan menyinggung tentang suatu fenomena psikologis yang disebut negativity bias, yaitu kecenderungan manusia untuk lebih mengingat hal-hal negatif yang terjadi di sekitar mereka, kemudian dijadikan standar dalam menilai perkara-perkara lainnya. Dalam konteks artikel tersebut, banyak orang lebih mudah mengingat berita-berita negatif mengenai Saudi Arabia, dan kemudian ketika muncul kembali berita lain tentangnya, orang cenderung mengingat-ingat kembai citra negatif yang sudah kadung tercetak alih-alih menilai secara obyektif. 

Di dalam artikel tersebut dipaparkan bahwa negativity bias bermula sejak zaman manusia ada di zaman meramu dan berburu. Disebabkan karena perlunya kehati-hatian dalam menghadapi hewan pemangsa, manusia mengembangkan naluri kewaspadaan dengan mengingat-ingat kembali kejadian-kejadian tidak menyenangkan supaya tidak terulang. Maka berkembanglah ia menjadi sebuah cara berfikir. 

* * *

Jelang akhir tahun seperti sekarang ini merupakan waktu yang paling pas buat merenung, terutama merenungi kejadian-kejadian yang terjadi selama setahun kebelakang. 

Salah satu yang saya renungi dari kehidupan selama setahun kebelakang adalah banyaknya kesempatan yang saya lewatkan hanya karena saya menumbuhkan insekuritas, rasa tidak aman yang saya kembangkan dari negativity bias akibat pengalaman dan trauma-trauma masa lalu. 

"Duh, nanti kalo ini begini, itu begitu kejadian lagi kayak dulu gimana ya?"

"Takut kalo kejadian itu terulang lagi. Enggak mau ah."

Sayangnya, negativity bias saya cukup sering juga salah sasaran, dipakai untuk memberikan penilaian yang tidak semestinya kepada orang lain semata-mata karena kewaspadaan yang berlebihan. Ini juga yang membuat saya tidak begitu pandai dalam bergaul dengan orang lain. Kadang-kadang kesan pertama saya ketika bertemu dengan orang baru adalah dengan menganggap mereka ancaman.

Bagi saya, ketika pengalaman tidak mengenakkan yang melibatkan orang lain terjadi, lebih mudah bagi saya untuk memaafkan daripada untuk benar-benar melupakan. Selalu ada pelajaran berharga yang bisa diambil yang tidak boleh begitu saja kita hapus dalam ingatan. Parahnya, ingatan yang terlalu dipertahankan ini terkadang justru bermetamorfosis jadi su'udzhan yang berlebihan.

Jadi, yah...kalo ngomongin masalah resolusi dan target-target tahun baru, mungkin salah satu resolusi yang harus saya jalankan adalah untuk mengosongkan gelas, dalam artian saya harus benar-benar forgive and forget terhadap pengalaman-pengalaman masa lalu dan tidak membiarkan memori dan prasangka menghalangi saya untuk mengambil kesempatan-kesempatan yang terbentang di depan.

Bisa nggak ya? Mudah-mudahan bisa. 

Selasa, 03 November 2015 0 komentar

Rahasia Meede: National Treasure a la Indonesia.

Sebenanya sih, buku ini tidak bisa dibilang buku baru. Saya pertama kali membeli buku ini lebih dari lima tahun yang lalu. Waktu itu, masih berstatus sebagai mahasiswa baru Universitas Padjadjaran, saya membelinya dalam kunjungan perdana saya ke pusat perbelanjaan JATOS. Karena ulasannya yang cukup menarik dari para pakar, saya memutuskan untuk mencomotnya dari rak buku di Tisera Jatos. Ditambah lagi dengan desain sampul yang menurut saya sangat keren dengan lambang VOC ditulis besar-besar di tengahnya. Kayaknya sih bukan pembelian yang sia-sia.
                
Sayangnya, ketika pertama kali membelinya saya tidak bisa langsung membacanya dalam sekali sampai tiga kali duduk sebagaimana biasanya ketika saya membeli novel. Entah kenapa, belum ada seperempat jalan saya sudah kehilangan minat sama sekali terhadap novel itu. Mungkin karena ide yang diusung Rahasia Meede masih tergolong sangat berat bagi otak saya yang waktu itu masih polos. Maklum, baru lulus SMA, hehehe
                
Sampai lima tahun kemudian, berstatus sebagai mahasiswa semester dua digit yang belum lulus, perhatian saya kembali tertumbuk pada novel ini. Tadinya sih hanya berniat mencatat dan merapikan kembali buku-buku yang pernah masuk daftar belanja tapi belum selesai terbaca, namun novel ini kembali menerbitkan perasaan yang dulu pernah ada (apaan sih…) ketika melihatnya teronggok pasrah terselip di antara tumpukan buku-buku yang nyaris sama tuanya. Jadilah, akhirnya novel ini kembali terbaca dan terselesaikan dalam beberapa hari. Alhamdulillah...

* * * 

Novel ini ceritanya berpusat pada harta karun peninggalan zaman VOC yang rahasianya terkubur jauh di bawah perut bumi Indonesia. Cathleen Zweinckel, seorang peneliti berkebangsaan Belanda yang tengah menyelesaikan penelitian masternya di Indonesia mengenai harta karun VOC yang hilang, terlibat menjadi korban penculikan yang dilakukan oleh Attar Malaka, tokoh organisasi klandestin Anarki Nusantara yang juga dituduh terlibat atas pembunuhan-pembunuhan tokoh-tokoh masyarakat. Mayatnya diletakkan di tempat-tempat berawalan huruf B. Di tempat lain, seorang prajurit TNI dengan nama sandi Lalat Merah berusaha memecahkan misteri penculikan ini sekaligus meringkus sang Attar Malaka. 

Novel ini bisa dibilang memadukan antara National Treasure-nya Nicholas Cage sama The Da Vinci Code-nya Dan Brown. Sama seperti film National Treasure, novel ini juga melibatkan kisah pencarian harta karun dengan mengumpulkan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan sejarah. Sementara itu, unsur thriller juga sangat kental dengan munculnya peristiwa-peristiwa pembunuhan yang sekilas mengingatkan kepada kisah-kisah Robert Langdon. 

Novel ini juga sangat piawai memadukan fakta-fakta sejarah dengan unsur-unsur fiksi. Pembaca akan dibawa kembali menelusuri Batavia masa VOC, revolusi kemerdekaan, sekaligus berkenalan dengan warna-warni budaya suku-suku Indonesia yang juga ditampilkan dengan sangat apik. Setting budaya dan tempat dalam novel ini memang sangat berwarna-warni. Pembaca akan  sejenak dibawa ke kepulauan Mentawai, Gugusan Kepulauan Pala, hingga Batavia di masa para Gubernur Jenderal berkuasa. 

Penarasian plot dalam novel ini juga penuh kejutan. Identitas karakter-karakter dalam novel ini seringkali ditampilkan dalam bentuk serpih-serpih yang kabur, sehingga pembaca akan diajak terkejut-kejut mengenai penyingkapan di akhirnya. Penuh surprise yang segar.

Selain itu, sisi unik dari novel ini adalah dialog serta deskripsinya yang banyak mengandung sarkasme atau sinisisme yang cukup pedas dalam mengkritik kultur masyarakat Indonesia. Mungkin ini salah satu poin yang tadinya membuat saya cukup jengah dan malas untuk membacanya di awal. 

Singkatnya, tidak berlebihan kalau novel ini disebut menyantak sastra Indonesia. Tidak banyak mungkin pengarang yang mampu memadukan thriller dan historical fiction seasyik ini. 

Syabas!  



       

                  
Senin, 19 Oktober 2015 0 komentar

Film 3: Ketika Distopia Merambah Film Indonesia

Jumat sore kemarin, mumpung habis gajian, tiba-tiba ada keinginan untuk sedikit nge-hedon dengan menonton film di bioskop dekat kosan. Dalam daftar film yang ditayangkan Bioskop 21 cabang Jatinangor Town Square hari itu bertengger beberapa film yang agaknya lumayan asyik untuk ditonton. Ada The Martian yang dibintangi Matt Damon, ada The Vatican Tapes yang ceritain tentang orang kesurupan (kayaknya), ada The Wedding and Bebek Betutu yang dibintangi pemain-pemain eks Extravaganza Trans TV.


Yang lumayan menarik perhatian adalah sebuah film berjudul 3. Tadinya agak skeptis karena track record sutradaranya yang sebelumnya menggarap film Coboy Junior dan Comic 8, dua film yang tema dan genre-nya sama sekali tidak  membuat saya tertarik. Ditambah lagi nama-nama karakternya yang dibikin seolah-olah Islami yang bikin saya berpikir:

"Halah, palingan ini film-film kayak yang sudah-sudah, yang ngejadiin relijiusitas sebagai barang dagangan." 

Cuman yang saya bikin agak tertarik adalah karena fakultas saya ngadain diskusi tentang film ini awal Oktober kemarin. Ditambah nama-nama pemeran utamanya yang lumayan kredibel (Agus Kuncoro, Abimana Aryasatya, dan Donny Alamsyah, misalnya), ditambah hadirnya kang Cecep Arief Rahman yang berperan sebagai The Assassin dalam The Raid 2: Berandal bikin saya tambah tertarik untuk nonton.

Seenggaknya, kalo ceritanya aneh, adegan laganya mudah-mudahan masih bisa dinikmatin, pikir saya. Maka, saya pun membeli tiket di baris kursi paling belakang Jumat sore itu. Sepi sih, tidak banyak yang nonton.

Ketika film dimulai, saya agak terhenyak: settingnya Jakarta tahun 2036 men! Setau saya, belum pernah ada satupun film Indonesia yang berani menampilkan latar Dystopian Future. Setting ini emang lagi marak di film-film Hollywood sono, The Hunger Games sama Divergent contohnya. Selain itu, setting budayanya juga rada unik plus absurd. Digambarkan saat itu Indonesia dipimpin oleh pemerintahan yang liberal tapi otoriter (?). Pasca huru-hara melawan kelompok-kelompok fundamentalis radikal, segala sesuatu yang berhubungan dengan agama secara ketat dilarang. Bahkan rumah-rumah ibadah dikonversi jadi gudang. Selain itu, teritorial Indonesia dibagi menjadi distrik-distrik, kayak di film The Hunger Games.

Tersebutlah ketiga orang anak manusia yang bersahabat sejak kecil: Alif, Lam (dari Herlam) dan Mim (dari Mimbo). Ketiganya adalah murid dari sebuah perguruan silat yang gurunya diperankan oleh kang Cecep Arif Rahman. Alif, yang orangtuanya dibunuh oleh kelompok radikal, memilih untuk menjadi aparat pemerintahan, detasemen khusus yang tugasnya menumpas para teroris, kriminal, dan pengacau. Lam memilih untuk berjuang lewat jalur jurnalistik demi mengungkap kebenaran. Sementara itu, Mim yang bercita-cita mati husnul khatimah lebih memilih untuk mengabdi di sebuah pesantren di Distrik 9.

Konflik film berpusar di antara ketiga tokoh utama ini. Pasca terjadinya sebuah pemboman di sebuah kafe, pemimpin pesantren tempat Mim mengabdi dijadikan tertuduh pelaku pemboman. Sementara detasemen Alif ditugaskan untuk meringkus dan menangkap sang kyai, Mim harus berhadapan dengan saudara seperguruannya sendiri demi melindungi kyainya. Idealisme Lam sebagai seorang jurnalis menuntutnya untuk mencari fakta-fakta di balik peristiwa itu, sekaligus mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara kedua sahabatnya.

Selanjutnya, tonton sendiri aja ya!

Oke, kali ini akan saya bahas plus minus dari film ini.

Dari segi tema, film ini bisa dibilang menyajikan sesuatu yang  unik. Entah ada hubungannya atau enggak, film ini diproduseri oleh Arie Untung, artis sekaligus aktifis #IndonesiaTanpaJIL, sedangkan bertindak sebagai sutradara adalah Anggy Umbara, sineas sekaligus DJ dari kelompok Purgatory, yang dulu pernah berada dalam kelompok Berandalan Puritan, yang digawangi oleh Thufail Al-Ghifari. Di film ini, liberalisme ditampilkan sebagai suatu ancaman yang menekan hak asasi warga negara untuk beragama. Bisa jadi, nilai-nilai #IndonesiaTanpaJIL juga ikut mewarnai film ini.

Film ini juga diwarnai banyak adegan laga yang lumayan seru. Aksi baku perkelahian pemain disajikan dengan menarik meskipun tidak secadas film The Raid atau Berandal. Selain itu, film ini banyak menggunakan teknik slow motion untuk menampilkan detail dari gerakan-gerakan baku hantamnya. Belum seseru The Matrix atau The One-nya Jet Li sih. Tapi rasanya gerakan slow motion di film ini agak overdosis sih, dan malah mengurangi keseruan adegan-adegan baku hantam. Beruntung, musik pengiring bernuansa metal yang dibawakan oleh Purgatory cukup buat menambah bumbu kegaharan yang berkurang gara-gara kebanyakan slow motion

Ide sekuler vs. relijius di film ini serasa tidak lengkap karena hanya menampilkan pihak Islam saja. Padahal, di Indonesia ini ada bermacam-macam agama dan kepercayaan. Oke, mungkin karena Islam di sini juga dijadikan pihak yang dikambinghitamkan. Still, kayaknya kurang representatif kalo cuman satu agama yang ditampilkan. Padahal, agama apapun juga  memiliki komunitas-komunitas radikal yang bisa juga ditampilkan sebagai titik tolak dari premis utama film ini.

Untuk menyebut film ini film Islami, kayaknya rada masygul juga. Standar seberapa Islami sebuah film mungkin bisa berbeda-beda tiap penonton. Mungkin ada yang menganggap film Kingdom of Heaven-nya Ridley Scott sebagai film Islami karena menampilkan Salahuddin Al-Ayyubi dan orang-orang Muslim dalam pencahayaan yang positif. Di sisi lain, ada juga yang menganggap serial biopic Umar ibn Khattab yang dirilis MBC beberapa tahun lalu kurang Islami karena menampilkan sosok sahabat-sahabat Nabi, dan potongan-potongan dialog seperti "Demi Latta dan Uzza!"

That being said, adegan-adegan dalam film ini mungkin tidak bisa dibilang sepenuhnya Islami. Di sisi lain memang ada kesulitan tersendiri untuk membuat sebuah karya berbentuk film yang sepenuhnya sharia-compliant. Dari mulai tata busana, dialog, interaksi antar pemain lawan jenis, musik, dll. semuanya mesti masuk pertimbangan. Tapi film ini secara pesan memang kental bersumber dari naratif-naratif Islam, dan menjadikan relijiusitas komunitas Muslim sebagai salah satu tema besar yang diusung. Jadi, film ini bisa dikategorikan Islami atau tidak, it depends.

Pada akhirnya saya cukup sumringah karena akhirnya film Indonesia berhasil memunculkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, termasuk berani meng-handle tema-tema dan gaya naratif yang unik.

Syabas!
Sabtu, 10 Oktober 2015 0 komentar

Dua Angka Sepuluh

Ah, bulan Oktober. Tiba-tiba teringat dia lagi, yang setiap tahunnya aku kirimi ucapan selamat ulang tahun lewat getaran sinyal tak kasat mata. Tak ada balasan, biasanya. Hanya seutas senyum tertunduk malu-malu dengan gumaman "terima kasih" esok paginya.

Melepaskan memang tak mudah, tetapi melupakan agaknya lebih susah. Biasanya sub-consciousku menghadirkan imajinya lagi dalam lelap malam. Tapi malam ini, ingatan tentangnya masuk begitu saja di benakku tanpa salam.
Setengah benakku masih meratap, bukan atas kehilangan, tetapi atas tiadanya ketegasan. Secabik keberanian untuk sekedar menyepi sebelum benih itu tumbuh menjadi jerat, sebelum semuanya menjadi serba terlambat.

Terlambat.
Hingga akhirnya keping domino pertama jatuh. Kedua, ketiga, kejatuhan yang susul-menyusul satu sama lain tanpa jeda, tanpa interval.
Setengah benakku yang lain sudah terengah-engah, terlalu lelah untuk sekedar memasang wajah muram. Lebih memilih untuk menatapnya sebagai guratan Ilahiah pada Loh yang Terjaga. Mungkin memang harus begini jalannya. Apa lagi yang mau dikata?

Kangenkah ini? Semoga tidak. Semoga hanya gumpalan rasa terima kasih yang belum sempat terlisankan. Sebab, biar bagaimanapun ia memberiku segudang kebijaksanaan, selaksa pelajaran.


Biar bagaimanapun, ia pernah menjadi pelukis warna yang paling dominan.
Rabu, 07 Oktober 2015 0 komentar

Sepeda

Orang-orang yang berada di lingkup keluarga atau sahabat yang sudah membersamai saya sejak kecil mungkin masih ingat dan sudah mafhum tentang fakta kecil yang ada di kehidupan saya yang bisa dibilang agak lucu dan memalukan: saya tidak bisa naik sepeda sampai hampir kelas dua SMP.

Saya memang waktu kecil bisa dibilang pribadi yang penakut dan manja. Waktu dua roda kecil di sisi kanan dan kiri sepeda saya akhirnya dilepas ketika saya berusia 6 tahun, saya merasakan rasanya pertama kali jatuh dari sepeda karena berusaha menyetimbangkan. Sialnya, saat itu saya menangis dan menyerah. Dan saya terlalu pengecut untuk mencoba lagi dan lagi.

Walhasil, latihan mengendarai sepeda menjadi aktivitas yang saya benci ketika saya menginjak sekolah dasar. Bagi saya saat itu, latihan bersepeda hanya akan menjadi aktivitas sia-sia yang tidak menghasilkan apa-apa selain saya jatuh. Saya pun menghabiskan masa sekolah dasar tanpa tahu keasyikan yang diraskan teman-teman sebaya ketika menggoweskan kaki berangkat sekolah bersama-sama, ikut sepeda santai, atau sekedar bersepeda keliling lapangan sekolah.

Dan saat itu, saya pikir saya akan ‘dikutuk’ dengan tidak bisa mengendarai kendaraan roda 2 dan, sebelum punya mobil sendiri, akan bergantung pada kendaraan umum.

Alhamdulillah, meskipun saya sudah terlanjur pesimis dan jatuh mental, orangtua saya tidak pernah patah semangat memaksa anaknya yang penakut ini untuk belajar sepeda lagi dan lagi.



Sebidang tanah di sebelah utara Stasiun Tegal, tempat saya latihan naik sepeda

Hingga akhirnya saat liburan semester I ketika saya menginjak kelas 7 SMP, saya memutuskan untuk membuang rasa takut, malas, dan malu untuk belajar mengendarai sepeda.

Kali ini, untuk menghindari rasa malu gara-gara saya yang sudah sebesar itu belum bisa mengendarai sepeda, maka dicarilah tempat yang cukup luas untuk saya belajar sepeda, namun tidak menjadikan saya pusat perhatian banyak orang.

Maka ditemukanlah sebidang tanah cukup luas milik PT. KAI di dekat stasiun Tegal. Di tempat itu saya bertekad untuk mematahkan "kutukan" tidak bisa naik sepeda dan terus berusaha walaupun mesti merasakan sakitnya jatuh lagi, lagi, dan lagi.

Tiap pagi selama liburan saya menghabiskan waktu dengan mencoba menyetimbangkan tubuh dan mengayuh sepeda di tanah berpasir yang diapit rerumputan ini. Selain sakit karena jatuh, saya masih harus menahan rasa malu ketika harus menghadapi tatapan aneh dari orang-orang yang melewati daerah itu.

Alhamdulillah, kerja keras saya berbuah manis. Setelah kurang lebih satu minggu berlatih akhirnya saya bisa naik sepeda. Sisa satu minggu liburan saya gunakan untuk memperlancar dan berkenalan dengan jalan raya. Maka, mulai kelas 7 semester II saya pertama kalinya mengayuh sepeda ke sekolah.

Pada akhirnya, bersepeda malah menjadi olahraga yang saya gemari. Sebagai orang dengan koordinasi motorik-sensorik yang tidak begitu baik dan selalu bermasalah dalam olahraga permainan, bersepeda menjadi salah satu cara saya berolahraga yang mudah dan murah. Bahkan, hobi saya bersepada membuat saya memutuskan untuk membawa sepeda ke kota rantau pertama saya di Yogyakarta.



Tiga tahun merantau selama SMA, hanya sesekali saya membawa sepeda motor milik kakak saya ke sekolah. Saya sangat sering bersepeda ke sekolah sampai-sampai satpam SMA saya melontarkan pernyataan bernada prihatin sekaligus simpatik

“Le…le, kowe kok gelem-geleme telung taun ngepit. Koncomu kabeh podho nggowo motor kowe kok ngepit wae.”

(“Duh nak, kamu kok mau-maunya bersepeda ke sekolah selama tiga tahun. Teman-temanmu yang lain membawa sepeda motor ke sekolah, kamu naik sepeda aja.”)

Ungkapan prihatin tersebut hanya saya balas dengan senyum simpul. Bagi saya, sepeda saya menjadi simbol perjuangan pribadi saya untuk mencapai sesuatu yang sebelumnya saya anggap tak mungkin. Sepeda menjadi perwujudan atas firman Tuhan: “Allah tak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Saya tetap lebih menyukai sepeda, hatta setalah saya belajar memainkan gas dan gir.

* * *

Beberapa hari yang lalu, saya kembali melewati sebidang tanah tempat saya belajar sepeda ketika sedang jalan-jalan pagi. Saya pun menyempatkan untuk mengambil sepotong nostalgia dan mengenang perjuangan saya di sana, dan menuliskan kisahnya di Tumblr ini.

Pelajaran yang terbesar yang saya ambil adalah bahwa hidup ini memang tidak dirancang untuk menjadi mudah dan manis. Jatuh, gagal, sakit dan patah hati adalah sesuatu yang niscaya. Namanya berusaha, pasti ujungnya hanya ada dua kemungkinan: berhasil atau gagal.

50:50

Maka menghindari kegagalan dengan cara menghindari berusaha, adalah kegagalan yang tak terelakkan. Contohnya begini, ketika dulu saya menghindari belajar sepeda karena takut jatuh dan gagal maka hasilnya saya tidak bisa naik sepeda selama beberapa tahun, which is also a failure. Jadi ya, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah kita harus menghadapi resiko dan berani gagal, berani jatuh, dan berani sakit. Now that’s a life lesson.

Konsekuensi logisnya adalah, penghalang terbesar yang menghalangi kita dari keberhasilan yang ingin kita capai adalah diri kita sendiri. Seringkali kita menyerah pada keadaan, sedangkan keadaan seringkali berada di luar kendali kita. Kita hanya punya kontrol atas diri kita sendiri. Betapapun sulitnya keadaan, kita harus tetap berusaha terus bergerak maju dan berusaha untuk tetap setimbang layaknya naik sepeda.

(Tulisan ini ditulis sekitar Juni tahun 2014)
Minggu, 30 Agustus 2015 0 komentar

Berkenalan dengan MQFM Bandung

Sepanjang Juni - Juli kemarin tumben-tumbennya aku dilingkupi oleh kesibukan-kesibukan yang membuat kehidupan sejenak berasa sangat hectic: mulai dari upaya mengejar lulus yang tak terkejar sampai Agustus, pindah kos dengan membawa seabreg barang, hingga seleksi dan pelatihan penyiar MQFM yang kisahnya hendak aku narasikan berikut ini.

Ketika tengah berselancar di media sosial di sela-sela kesibukan bimbingan skripsi dan pindah kosan awal Juni kemarin, tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah pengumuman di beranda Facebook-ku. Isinya adalah tentang  agenda audisi penyiar MQFM yang diadakan bersamaan dengan event Islamic Book Fair di Braga Landmark tanggal 3 Juni pukul tiga sore. Entah kenapa saat itu rasanya aku sangat tertarik. Padahal aku sebenarnya tidak begitu bercita-cita menjadi penyiar radio. Saat memutuskan untuk ikut audisi, aku yang biasanya berpikir panjang dan mempertimbangkan untung-rugi yang cukup detail sebelum memutuskan sesuatu tiba-tiba langsung dapat memutuskan begitu saja:

"Yeah, sure. Why not?"

Walhasil, tanggal 3 Juni setelah salat Dzuhur aku pun menempuh perjalanan dari Jatinangor ke jalan Braga di pusat kota Bandung. Karena aku memang jarang sekali pergi ke Bandung sendirian, apalagi naik angkutan umum, aku sempat tersesat gara-gara salah naik angkot, yang menyebabkan aku terlambat datang di lokasi satu jam dari waktu yang ditentukan. Tak apalah, akhirnya aku berhasil sampai ke lokasi dengan semangat dan excitement yang membuncah karena mencoba pengalaman baru.

Nomor peserta audisi
Excitement yang aku rasakan mendadak sirna setelah mengetahui bahwa audisi penyiarnya diadakan di panggung utama, dengan ditonton oleh para pengunjung serta penjaga booth toko buku. Aduh, jujur saat itu rasanya aku ingin pulang saja. Aku pikir tadinya audisi ini akan diadakan di sebuah booth, bukan di panggung utama dengan ditonton puluhan orang seperti ini. Namun akupun akhirnya memberanikan diri, apalagi sudah menghabiskan waktu, tenaga, serta materi yang akan menjadi tak bernilai begitu saja seandainya aku memilih bersikap pengecut. Beruntung, aku bertemu dengan kang Dzikri, salah satu penyiar MQFM yang merupakan kakak angkatanku di kampus. Beliau dan juga beberapa peserta audisi lainnya menjadi teman ngobrol yang menyenangkan, untuk mencairkan gumpalan ketegangan yang menyumbat benakku sore itu.

Ketika giliranku untuk naik ke atas pentas, kakiku bergetar hebat karena tegang. Suaraku sampai nyaris pecah karena jantungku yang berdetak begitu keras seolah mencekik tenggorokanku. Setelah mencoba menirukan cara bicara seorang penyiar, aku pun diberi pertanyaan yang harus aku jawab dengan topik menganai dunia Islam. Di bagian itu aku mulai berbicara agak lancar, selain karena ketegangan sudah mulai cair, topik itu menjadi salah satu yang sering aku baca.


Aku sama sekali tak berharap banyak waktu itu, namun qadarullah wa maa syaa'a fa'al namaku termasuk di antara sepuluh orang yang terpilih masuk ke seleksi wawancara di tahap selanjutnya. Saat itu pertama kalinya aku mengunjungi studio MQFM Bandung di JL. Gegerkalong Girang Baru no. 11 Bandung. Di sana, selain di wawancara aku juga harus kembali menunjukkan kemampuanku membacakan informasi dengan gaya penyiar. Dengan pengalaman lomba pidato, lomba news casting, serta lomba story telling yang cukup sering aku ikuti zaman sekolah duluakupun berusaha untuk membaca kertas yang disodorkan padaku dengan sebaik-baiknya. Kali ini tidak begitu tegang karena
dilakukan di ruang tertutup dengan dinilai oleh empat orang penyiar senior.

Beberapa hari kemudian, awal-awal Ramadan, aku mendapat telepon dari pihak MQFM yang memintaku datang lagi ke studio. Aku mendapat kesempatan untuk mengikuti tahap selanjutnya, yakni pelatihan tahap pertama yang diadakan selama beberapa hari di studio MQFM Bandung. Setelah melalui tahap wawancara (lagi), akupun memulai periode pelatihan bersama empat orang lainnya: Muas, Ikhsan, Qorry, dan Retno. Selama beberapa hari kami dilatih dan diajari beberapa teknik yang perlu dimiliki seorang penyiar, mulai dari artikulasi, vokal, sampai latihan membuka dan menutup program siaran. Selain itu, kami berkesempatan untuk melakukan observasi, melihat bagaimana seorang penyiar radio memperagakan kemampuan multi-tugas yang luar biasa: berbicara di depan mikropon sambil mengontrol mixer dan komputer yang memainkan musik dan spot iklan. Selain itu, di akhir sesi kami diberikan "ujian praktek" dengan bersiaran secara tandem bersama penyiar MQFM.

Selama masa audisi sampai pelatihan ini, rasanya menyenangkan bisa "bertobat" dari kebiasaan hidup sedenter. Aku memang tipe-tipe orang yang cenderung malas keluar kosan/rumah jika tidak ada keperluan dengan urgensi tinggi. Selain itu, aku termasuk pribadi yang kurang menyukai tantangan dan cenderung terpuruk di zona nyaman. Ketika memutuskan untuk menghadiri audisi di jalan Braga itu, aku bersyukur dalam hati karena mulai berani menerobos zona nyaman dengan memberanikan diri berkendara sejauh puluhan kilometer dan melawan rasa takut berbicara di depan umum.

Masa pelatihan yang bertepatan dengan bulan Ramadan pun meninggalkan kesan tersendiri buatku. Tiap pagi, ketika jarum pendek masih di angka 10, aku berangkat ke daerah Gegerkalong Girang dari kosanku di Jatinangor. Menurut Google Map sih jaraknya sekitar 40 KM, tapi semua itu aku tempuh dengan ringan karena aku sangat bersemangat mengeksplorasi potensiku di bidang yang sama sekali asing bagiku sebelumnya. Beberapa menit selepas pukul 12 biasanya aku sudah sampai di sekitar Jl, Gegerkalong Girang. Sambil menunggu waktu pelatihan yang dimulai pukul 13.00, aku biasanya berdiam di masjid DT ba'da shalat Dzuhur, menyesap suasana relijius dan spiritual yang terasa begitu kental di lingkungan pesantren, apalagi di bulan Ramadan. Menghabiskan siang Ramadanku di lingkungan yang sangat kondusif membuat shaum-ku Ramadan kemarin menjadi lebih berenergi, walaupun beraktifitas yang memakan waktu sampai menjelang berbuka.

Sempat masuk studio juga.
Kesan lain yang melekat di benakku adalah kesan profesionalisme yang nampak di lingkungan MQFM Bandung. Dari segi fisiknya saja, terrepresentasikan dengan sebuah bangunan kantor yang cukup bersih dan rapi, terletak bersebelahan dengan kantor MQTV. Dari segi konten, menurutku MQFM Bandung menempatkan diri dengan sangat bagus dengan memberikan porsi yang berimbang antara taushiyah, talk show, dan musik. Terkadang radio Islam agak terlalu berat di ceramah, sehingga mungkin berkesan terlalu menggurui. Ada juga yang terlalu condong di hiburan, sehingga kesan relijiusnya malah jadi kurang terasa. Yang paling aku sukai dari MQFM Bandung adalah talk show-nya yang begitu variatif. Sesuai dengan tagline-nya, Inspirasi Keluarga Indonesia, agaknya program-program di MQFM Bandung memang ditujukan untuk seluruh anggota keluarga, mulai dari orangtua sampai anak-anaknya.

Sampai akhirnya, akhir Juli kemarin, datanglah hari yang menentukan apakah kami lolos ke tahap selanjutnya atau terhenti di sini saja. Tahap selanjutnya adalah pelatihan tahap kedua, yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang sudah resmi diterima menjadi penyiar. Secara pribadi aku berharap kami berlima dapat diterima, tapi itu jelas tak mungkin. Pada akhirnya, hanya dua dari kami yang masuk menjadi penyiar MQFM, sedangkan aku, Muas, dan Retno mendapat surat keterangan magang yang ditandatangani oleh kang Sigit Kurniawan, manajer produksi sekaligus salah satu mentor kami selama masa pelatihan.

Alhamdulillah 'alaa kulli haal, walaupun secara manusiawi ada sedikit gurat kecewa karena sudah terlanjur menumbuhkan ekspektasi, tapi ini yang terbaik dari Allah. Mungkin Tuhan melihat bahwa aku masih harus berkonsentrasi sepenuhnya untuk menyelesaikan studi tanpa terganggu fokusnya dengan pekerjaan. Walaupun tidak sampai menjadi penyiar, aku bersyukur karena telah mendapatkan pengalaman baru, ilmu baru, saudara-saudari baru, serta sesuatu yang berguna untuk mengisi CV ku, hehehe...Tetapi yang paling penting aku bangga telah berhasil memaksa diriku sendiri untuk keluar dari zona nyaman, melawan rasa takut, serta mencoba hal baru. I hope it leads to something good.
Semoga aku bisa mengeksplorasi potensiku serta menebar manfaat di tempat yang lain.

Selamat buat kang Ikhsan Malik dan teh Qorry Aina, semoga menjadi ladang amal saleh bagi kalian berdua dan kru MQFM sekeluarga. Juga, happy belated birthday yang ke-14 untuk MQFM Bandung, semoga tetap menjadi sumber inspirasi bagi keluarga-keluarga di Indonesia.

Cheers!      

Rabu, 05 Agustus 2015 0 komentar

Logat

"Aslinya dari mana, kang?"

"Tegal," jawabku.

"Oh...Tegal," balasnya sembari mencoba menekankan pada suku kata "gal" supaya terdengar medok.

* * * 

Skenario seperti tertulis di atas bukanlah hal yang asing bagiku. Ya, hampir tiap kali aku menjawab pertanyaan tentang kota asalku, orang yang bertanya selalu mencoba mempraktekkan logat yang, mungkin menurut mereka, seperti logat Tegal. Terkadang ada juga orang yang sengaja memintaku untuk berbicara dalam bahasa Tegal demi memenuhi rasa penasaran mereka. 

Pada awalnya aku merasa sedikit risih, karena merasa orang menjadikan budayaku sebagai bahan bercandaan. Tapi lama-lama aku biasa saja, bahkan menganggap bahwa upaya mereka mengimitasi bahasaku sebagai upaya ingin bersikap bersahabat. I'm now OK with that

Toh itu bukan sepenuhnya salah mereka. Pengetahuan banyak orang tentang cara bicara orang Tegal mungkin sangat dipengaruhi oleh penggambaran orang-orang Tegal di media, sinetron terutama. Sinetron Indonesia seringkali mengidentifikasi latarbelakang etnis tokoh-tokohnya menggunakan logat, yang tentu saja telah mengalami dramatisasi. 

Dalam kasus logat Tegal, logat di sinetron tidak sama dengan logat Tegal yang sebenarnya. Menurutku sih, logat dalam sinetron terjadi kerancuan antara logat Tegal dan logat Ngapak, yaitu dialek Jawa yang dipakai di daerah Jawa Tengah bagian selatan (Cilacap, Kebumen, Banyumas, dll.). Mirip sih, tapi tidak sama. Dan memang, logat Ngapak ini medoknya lebih terdengar dari logat Tegal, dan mungkin lebih dramatis dan cocok untuk acara-acara televisi. 

Sejauh ini, baru ada tiga tokoh yang menurutku logat Tegalnya lebih mendekati aslinya: Pampam dari sinetron lawas Tuyul dan Mbak Yul, serta tokoh Sakiyat dan Man Damin dari sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Itupun karena pemerannya asli orang Tegal. 

Alhamdulillah, salah satu kemudahan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku adalah bakat linguistik yang memudahkan aku mempelajari bahasa dan menyesuaikan diri dengan logat-logat lawan bicara. Ketika SMA, aku merantau ke Jogja dan mempelajari bahasanya; kemudian belajar bahasa Inggris dengan logat American ataupun British; berbicara dengan Tuhan dalam bahasa Arab dialek Quraisy abad ke-7 dengan tajwid dan makharijul huruf-nya; marantau ke tanah Sunda dan berusaha sedikit-sedikit juga mempelajari bahasanya; bergaul dengan teman-teman dari Ibu Kota dan mengimitasi gaya loe gue-nya. Walhasil, logat medok Tegalku sudah hilang tak tahu ke mana. 

Kadang-kadang, ada juga yang bertanya:

"Asli mana?" 

"Tegal."

"Lho, kok enggak medok?"

Biasanya aku hanya balas dengan nyengir.

Jumat, 05 Juni 2015 0 komentar

Moving Out, Moving On

It's official. Setelah nyaris lima tahun menetap di kamar sewaan yang sama semenjak 2010, untuk pertama kalinya aku pindah kosan. Sejak awal Mei kemarin, aku sudah rajin-rajin berburu tempat sewaan yang bisa aku tinggali dalam tempo beberapa bulan saja. Bukan pekerjaan yang mudah mencari tempat kos yang boleh bayar bulanan. Belum lagi kenaikan harga sewa selama beberapa tahun terakhir yang membuat budgeting semakin sulit.

Alhamdulillah, ketemu juga satu tempat kos yang bisa bayar bulanan dengan sewa yang relatif murah. Beberapa puluh meter dekat Jatinangor Town Square, ada sebuah pondokan yang bisa ditempati dengan harga kurang dari empat ratus ribu per bulannya, tentunya dengan fasilitas yang seadanya: sebuah kasur tipis yang melesak ke dalam tiap kali aku berbaring di atasnya, serta fasilitas air dan listrik. Itu saja, bahkan sekedar bedside table pun tak ada. Tetapi aku sudah sangat bersyukur dapat tempat untuk tinggal sementara aku berjuang menyelesaikan skripsiku.

Tapi lumayan asyik juga, kosan baruku ini terletak di lokasi yang sangat strategis. Tidak seperti Ciseke Kecil yang terpencil menyempil disesaki bangunan-bangunan yang tidak mungil, kosanku ini (Pondok Wiry namanya) terletak di pinggir jalan dekat salah satu pusat keramaian Jatinangor. Diapit oleh dua pusat perbelanjaan (Jatos dan Griya) serta banyak terdapat tempat makan (Checo, Belike Coffee, Waroeng Steak, Kedai Indra, dll) menjadikan lokasi ini strategis untuk bersenang-senang ketika melepas penat.  Lokasi yang tidak tertutup bangunan-bangunan juga membuat sirkulasi sinyal lebih lancar.

Urusan mencari tempat selesai, selanjutnya masalah pindahan. Ini juga jadi kesulitan tersendiri mengingat selama lima tahun tinggal di kosan lama, aku sama sekali tak pernah memulangkan sebagian barang-barangku ke Tegal. Justru aku malah sering mengimpor buku-buku maupun barang-barang lainnya dari rumah. Seingatku aku pernah membawa dari rumah sebuah biografi Umar Ibn Al-Khattab karangan Haekal yang berat dan tebal yang begitu sesampainya di rantau tak pernah kusentuh lagi. Begitupun beberapa jilid Tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka yang hanya kubaca beberapa bagian saja. Belum lagi buku yang aku beli sendiri di Jatinangor yang rata-rata aku beli 5-8 buku per tahunnya.

Buku-buku, piring, varsity yang terkapar begitu saja di lantai kamar.
Kebayang 'kan? Dan barang-barangku pun bukan cuma buku lho. Ada pakaian (ini pun aku sering mengimpor dari rumah pakaian lungsuran almarhum bapakku), alat-alat kebersihan, sampai sebuah speaker aktif yang setia jadi temanku tiap hari. Tadinya aku berniat menyicil barang-barang itu semua dengan aku bawa sedikit-demi sedikit, tapi setelah kedua tanganku bergetar hebat sehabis berjalan kaki dari kosan lama ke kosan baru sambil membawa sekardus penuh buku yang berat-barat, aku putuskan untuk menggunakan jasa angkut barang. Selesai dalam sekali angkut meskipun jarak Ciseke Kecil - Jatos harus dibayar dengan harga yang lebih mahal dari tiket bus ekonomi Bandung - Tegal. 

Walhasil, barang-barang itu semuanya harus tergeletak begitu saja di lantai tanpa rak maupun lemari. Tak apalah...yang penting sudah bisa pindah. Itu pun aku sudah senang.

* * *

Terkadang, atau malah seringkali, banyak muncul epifani dan kesadaran dalam keadaan kita sedang diuji dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Karena kejayaan itu sering melenakan, kita jadi sering lalai terhadap kekurangan-kekurangan kita sendiri kalo segala sesuatunya sedang berjalan dengan smooth.

Ketika dalam masa down semester lalu karena harus mengulang satu mata kuliah di semester berikutnya dan menunda banyak sekali rencana, tiba-tiba banyak kekurangan diri sendiri yang hijabnya tersingkap begitu saja di depan mata. Aku pikir tadinya aku baik-baik saja, dan kalau ada yang salah itu pasti karena orang lain. Setelah menjalani perenungan sambil membaca banyak buku pengembangan diri (The Magic of Thinking Big-nya Schwartz dan How to Stop Worrying and Start Living-nya Carnegie paling banyak membantu), ternyata banyak sekali kesalahan-kesalahan diri sendiri yang mesti diperbaiki, mulai dari kebiasaan sering down, suka menunda-nunda, malas, dsb.Malu rasanya.

Aku percaya bahwa lahir dan batin pada dasarnya saling terkait, maka aku berharap dengan berpindahnya jasadku dari kosan lamaku, aku juga dapat menghijrahkan batin dan pikiranku dari kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak produktif.

Berpindah dari sesuatu yang telah lama membuat kita merasa nyaman emang tidak mudah, tapi aku harap hasilnya sepadan.

Senin, 04 Mei 2015 0 komentar

Ganti Nama Panggilan

Sejak kecil, aku selalu memperkenalkan diriku dengan menggunakan nama pertamaku, Maulana. Karena faktor silabel yang terlalu banyak dan pengucapan yang agak ribet, akhirnya banyak orang membuat nickname yang bermacam-macam demi memudahkan p
Kadang ada juga yang memanggilku Darth Maul
engucapan namaku: Mol, Maul, Lana, Nana, Olan, Ul, Mau, Lan, bahkan waktu SMA ada yang tega-teganya memanggilku Mau-Mau, yang menurutku lebih cocok menjadi nama anjing peliharaan.

Konon katanya, aku dinamai dari seorang ulama, syeikh sufi dari Persia yang datang ke pulau Jawa, tepatnya di Gresik. Kononnya lagi beliau adalah generasi pertama dari Wali Songo, atau sembilan orang penyebar agama Islam yang kisah-kisahnya lumayan kesohor itu. Maulana Malik Ibrahim, atau biasa dikenal dengan Sunan Gresik.

Jika kita lihat dari konteks historis kebudayaan Muslim Turki-Persia abad pertengahan, maka tampaknya Maulana adalah sebuah gelar keulamaan. Mungkin saja, Sunan Gresik itu nama aslinya Malik Ibrahim, sedangkan Maulana adalah scholarly title yang ia sandang. Sampai sekarang pun, di beberapa kebudayaan Muslim masih mengenal kata Mullah (dari bahasa Arab Maula). Gelar Maulana (Mevlana) kini sering diidentikkan dengan tokoh sufi Jalaluddin Balkhi, yang dikenal dengan nama Rumi. Orde tarekat sufi yang menisbatkan pada dirinya pun dinamai tarekat Mevlevi (Maulawi).

Jadi, demi mencegah dibuatnya nickname yang semakin lama malah terdengar semakin konyol, dan atas dasar latarbelakang historis bahwa Maulana mestinya adalah sebuah gelar, bukan proper name, maka aku memutuskan untuk mulai memperkenalkan diri sebagai Malik.  Lebih simpel dan mudah diucapkan.

 * * *

Beberapa minggu yang lalu, ketika bertemu dan sembang-sembang bersama beberapa mahasiswa Malaysia, responden untuk tugas kelompok sosiolinguistikku, aku mulai memperkenalkan diri sebagai Malik.

"Just call me Malik, by the way," kataku ketika memperkenalkan diri kepada tiga orang gadis beretnis Tionghoa dan seorang pemuda beretnis Tamil yang menjadi responden tugas kelompokku.

"Oh, Zayn Malik from One Direction?" kata salah satu anggota kelompokku yang mencoba melucu.

"No, I'm from the wrong direction," jawabku ngasal. Tak dinyana, mereka semua malah tertawa.

"That's a good one!" kata respondenku yang beretnis Tamil.

Well, membuat orang tertawa pada pertemuan pertama hanya dengan beberapa kata adalah prestasi luar biasa bagi pribadi dengan skill sosial yang cetek seperti aku ini. Tapi, hey! Aku sudah bisa membuat beberapa orang dari negara tetangga tertawa. Lawakanku bisa jadi sudah berstandar internasional.

Maybe I should have my own comedy show?
Rabu, 15 April 2015 0 komentar

Tjokroaminoto: Sebuah Ulasan

Poster film Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Tanggal 9 April kemarin, mumpung masih tanggal muda dan anggaran masih ada, aku memilih untuk mengisi siangku untuk menonton film biografi (biopic) tentang Haji Umar Said Cokroaminoto, yang berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Berita mengenai akan diluncurkannya film ini sudah aku baca kira-kira seminggu sebelumnya, dan menonton trailernya membuatku cukup antusias karena aku sendiri cukup meminati sejarah dan menyukai film-film fiksi sejarah, baik film epik maupun film biografi. Apalagi dari deretan pemainnya banyak nama-nama yamg tidak bisa diremehkan, seperti Christine Hakim, Reza Rahadian, Chelsea Islan, dan Alex Abbad. Garin Nugroho, yang sebelumnya pernah menggarap biopic Soegijapranata, menjadi sutradara dari film berdurasi 160 menit ini.

Sayangnya, tidak semua pengunjung bioskop memiliki antusiasme yang sama. Ketika film ini tayang perdana di bioskop Jatos siang itu, kulihat penontonnya sedikit. Entah karena kalah populer dengan Fast and Furious 7 yang menjadi film terakhir Paul Walker yang juga tengah tayang, atau memang aku memilih waktu tayang yang masih terlalu awal. Yang jelas,di dalam studio 3 siang itu, hanya ada beberapa bangku yang terisi.

Reza Rahadian sebagai Cokroaminoto
Seperti judulnya, film ini berpusat di sekitar kehidupan Cokroaminoto, menggambarkan sejak masa Cokroaminoto kecil hingga pendirian Sarekat Islam dan masuknya pengaruh Komunisme di tubuh SI melalui Semaun, Darsono, dan Musso yang terpengaruh oleh Henk Sneevliet. Latar tempat dari film ini berada di sekitar Semarang, Jawa Tengah, dan Surabaya, Jawa Timur, sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20.

Di film ini digambarkan juga beberapa tokoh yang ikut mewarnai sejarah Indonesia antara lain Semaun (Tanta Ginting), Agus Salim (Ibnu Jamil), dan Kusno/Soekarno (Deva Mahendra). Ada juga beber
apa tokoh lain yang belum pernah aku dengar namanya. Entah memang ada dalam kehidupan Cokroaminoto, ataukah hanya rekaan sebagai pelengkap cerita? Aku tak tahu. Tokoh-tokoh ini antara lain Stella (Chelsea Islan), gadis Indo-Belanda yang khawatir nasibnya akan tidak jelas di negara Indonesia yang menjelang proses persalinan itu; Abdullah Abdad (Alex Abbad), seorang Arab Yaman yang menjadi kakitangan Belanda; ada Haji Garut (Didi Petet) yang perannya cuma membacakan deklamasi diiringi tiupan seruling Sunda.

Film ini menurutku sangat bagus, karena selain menceritakan tentang salah satu babak pergerakan nasional bangsa kita, film ini disajikan dengan tata audio-visual yang menarik nan artistik. Misalnya di beberapa bagian ditampilkan keluarga Cokroaminoto yang menyanyi bersama diiringi iringan piano. Di bagian lain ditampilkan satu babak teater yang ditonton oleh Cokroaminoto.  Penataan artistik pada setting tempat pun terlihat sangat apik, contohnya setting rumah Peneleh tempat Cokro sekeluarga tinggal: Sebuah rumah berarsitektur Jawa lengkap dengan sebuah pendopo.


Chelsea Islan sebagai Stella
Dari segi akting, kombinasi aktor-aktor veteran dan para pendatang baru membuat kombinasi yang menarik. Reza Rahadian menurutku telah berhasil menangkap semangat berapi-api dalam sosok HOS Cokroaminoto dengan baik. Begitupun dengan tokoh-tokoh yang lain, yang menurutku berhasil memantulkan emosi dari tokoh-tokoh yang diperankan: Semaun, Musso, dan Darsono yang radikal dan tidak sabaran; Stella yang intelek dan penuh keingintahuan; Agus Salim yang seringkali berperan sebagai penengah; Kusno yang berapi-api, dll. Tokoh-tokoh pendukung di film itu pun berperan dengan apik dalam mendukung jalan cerita: mbok Tum yang cerewet; Bagong yang jenaka; sampai bapak-bapak penjual dingklik yang selalu bangga dengan dasi kupu-kupunya.

Film ini nampaknya ingin menyampaikan dua pesan yang mendasar, yaitu persatuan antar etnis dan anti radikalisme. Di film ini, Cokroaminoto digambarkan mengusahakan persatuan antara etnis Tionghoa dan Jawa, serta menjalin hubungan akrab dengan seorang kyai keturunan Yaman bernama Ibrahim Djamali. Jika dilihat dari perspektif historis, setidaknya menurut Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah, Belanda turut mengarsiteki terjadinya jurang pemisah antara kaum bumiputera dengan etnis Tionghoa dan Arab dengan menempatkan golongan Timur Asing (etnis Tionghoa dan Arab) sebagai warga kelas dua di bawah warga Eropa, dan di atas kaum bumiputera.  Dalam film ini, Cokroaminoto juga digambarkan menolak dengan tegas langkah-langkah radikal yang hendak dijalankan oleh pentolan-pentolan Marxis dalam tubuh Sarekat Islam. Beliau digambarkan dengan tegas menolak pengejawantahan ide-ide dalam bentuk revolusi fisik, yang diilhami oleh revolusi kaum Bolshevik di Rusia.

Pada akhirnya, sebuah film sejarah, baik berupa biopic atau film epik, sepatutnya tidak dimaknai sebagai visualisasi murni dari sejarah itu sendiri. Alih-alih, ia seharusnya dipandang sebagai sebuah interpretasi dari sekelompok pekerja seni, mulai dari sutradara, sampai penata suara, terhadap bagian-bagian yang ada dalam narasi sejarah. Pekerja-pekerja seni pun punya ideologi, yang sedikit banyak akan mempengaruhi dan mewarnai interpretasi sejarah yang tertuang dalam bentuk film. Dan toh, sejarah juga tidak monolitik dan terbuka atas berbagai cara dan jenis interpretasi.

Secara umum, film ini sangat bagus untuk ditonton seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tidak hanya generasi muda yang sering dituduh lupa sejarah dan kehilangan nasionalisme, namun juga generasi yang telah berumur, sebagai inspirasi nilai-nilai yang kelak dapat ditanamkan kepada penerus-penerus di bawahnya.  

Sabtu, 11 April 2015 0 komentar

Pemuda dan Tetes-tetes Minyak

Seorang pemilik toko menyuruh anaknya pergi mencari rahasia kebahagiaan dari orang paling bijaksana di dunia. Anak itu melintasi padang pasir selama empat puluh hari, dan akhirnya tiba di sebuah kastil yang indah, jauh tinggi di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu tinggal.

Namun ketika dia memasuki aula kastil itu, si anak muda bukannya menemukan orang bijak tersebut, melainkan terlihat kesibukan besar di dalamnya: para pedagang berlalu lalang, orang-orang bercakap-cakap di sudut-sudut, ada orkestra kecil sedang memainkan musik lembut, dan ada meja yang penuh dengan piring-piring berisi makanan-makanan
enak di belahan dunia tersebut. Si orang bijak berbicara dengan setiap orang, dan anak muda itu harus menunggu selama dua jam. Setelah itu, barulah tiba gilirannya.

Si orang bijak mendengarkan dengan saksama saat anak muda itu menjelaskan maksud kedatangannya, namun dia mengatakan sedang tidak punya waktu untuk menjelaskan rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan anak muda itu melihat-lihat sekeliling istana, dan kembali ke sini dua jam lagi.

"Sementara itu, aku punya tugas untukmu," kata si orang bijak. Diberikannya pada si anak muda sendok teh berisi dua tetes minyak. "Sambil kau berjalan-jalan, bawalah sendok ini, tapi jangan sampai minyaknya tumpah."

Anak muda itu pun mulai berkeliling-keliling naik turun sekian banyak tangga istana, sambil matanya tertuju pada sendok yang dibawanya. Setelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat orang bijak itu berada.

"Nah," kata si orang bijak, "apakah kau melihat tapestri-tapestri Persia yang tergantung di ruang makanku? Bagaimana dengan taman hasil karya ahli taman yang menghabiskan sepuluh tahun untuk menciptakannya? Apa kau juga melihat perkamen-perkamen indah di perpustakaanku?"

Anak muda itu merasa malu. Dia mengakui bahwa dia tidak sempat melihat apa-apa. Dia terlalu terfokus pada usaha menjaga minyak di sendok itu supaya tidak tumpah.

"Kalau begitu pergilah lagi berjalan-jalan, dan nikmatilah keindahan-keindahan istanaku," kata si orang bijak. "Tak mungkin kau bisa mempercayai seseorang, kalau kau tidak mengenal rumahnya."

Merasa lega, anak muda itu mengambil sendoknya dan kembali menjelajahi istana tersebut, kali ini dia mengamati semua karya seni di langit-langit dan tembok-tembok. Dia mengamati taman-taman, gunung-gunung di sekelilingnya, keindahan bunga-bunga, serta cita rasa yang terpancar dari segala sesuatu di sana. Ketika kembali menghadap orang bijak itu, diceritakannya dengan mendetail segala pemandangan yang telah dilihatnya.

"Tapi di mana tetes-tetes minyak yang kupercayakan padamu itu?" tanya si orang bijak.

Si anak muda memandang sendok di tangannya, dan menyadari dua tetes minyak itu sudah tidak ada.

"Nah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan untukmu," kata orang paling bijak itu. "Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal menakjubkan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes-tetes air di sendokmu."
(Dikutip dari "The Alchemist" karya Paulo Coelho)
Senin, 06 April 2015 0 komentar

Tentang Secangkir Kafein

"Mbok ya kebiasaan ngopimu itu dikurangi."

"Hati-hati lho nanti ususmu jadi item."

"Awas tuh lambungmu. Kamu 'kan pernah kena tipes."

Peringatan-peringatan senada sudah seringkali aku dengarkan dari orang-orang terdekat, terutama keluarga, yang entah kenapa begitu mempersoalkan kebiasaanku minum kopi. Bagiku, tanpa bermaksud untuk tidak menghargai perhatian mereka, peringatan-peringatan itu tidak kuanggap serius. Aku tidak merasa berlebihan dalam mengonsumsi kopi. Tiap hari, kubatasi hanya satu atau dua cangkir, dan dari banyak artikel yang kubaca aku tahu kalau dosisku masih dalam batas aman. Lagipula, aku juga sudah belajar untuk menikmati kopi hitam polos tanpa gula, susu, atau krimer. Riwayat diabetes di keluargaku mengharuskanku untuk mengontrol konsumsi gula yang masuk ke tubuh. Dan toh ternyata tidak ada perbedaan signifikan baik mengonsumsi kopi hitam polos, atau dengan tambahan lain. Rasanya pahit, memang. Tapi toh sensasi segar yang kurasakan tidak banyak berubah.

* * *

Kalau kutelisik, bisa jadi kecintaanku pada minuman hitam ini berawal dari masa kecilku. Sebagai orang Tegal, aku sudah terbiasa menikmati teh sejak kecil. Minuman ini tersedia di berbagai kesempatan, disajikan di berbagai pertemuan dan perjamuan mulai dari majlis ta'lim, acara keluarga, dan tersedia di berbagai
 restoran baik besar maupun kecil.

Di rumahku, dulu waktu aku masih bersekolah di SD, tiap pagi ibuku selalu menyediakan masing-masing satu gelas berisi teh manis hangat yang biasanya aku nikmati setelah sarapan pagi. Teh manis hangat ini tak pernah absen aku seruput sambil menunggu jarum jam beranjak setengah tujuh. Kebiasaan inipun berlanjut sampai aku naik tingkat menjadi siswa seragam putih biru.

Selain itu, orang Tegal punya tradisi "Moci", yaitu menikmati teh dari perkakas minum teh yang terbuat dari tanah liat. Kononnya, aroma dan rasa teh, terutama teh melati, akan terasa lebih mantap jika disajikan melalui piranti tanah liat, baik teko maupun gelasnya. Teh yang disajikan sangat pekat, yaitu satu bungkus teh yang digunakan untuk diseduh dengan 3/4 takaran teko tanah liat yang berukuran tidak begitu besar. Rasanya? Sangat kuat, campuran antara rasa pahit dan sepet yang umumnya dihasilkan oleh teh melati. Disajikan dengan gula batu, teh ini memberikan sensasi segar yang ditimbulkan oleh kafein yang dipadu dengan rasa teh melati yang khas.

Mungkin dari kebiasaan inilah tumbuh kecintaanku akan minuman berkafein. Meskipun kecintaanku pada kopi baru muncul ketika aku SMA, namun kebiasaan rutin minum teh inilah yang mungkin menjadi awal kecanduanku.

Ketika SMA, aku menjadi perantau yang melanjutkan jenjang pendidikan di kota yang cukup jauh dengan kota kelahiranku. Selama tiga tahun jadi perantau di Yogyakarta, aku sudah tidak begitu sering lagi minum teh dipagi hari. Maklum, tinggal di kos sendirian membuatku harus disibukkan dengan keperluanku sendiri tiap pagi, mulai dari membeli makanan untuk sarapan, hingga kadang-kadang mencuci dan menyetrika baju.

Akan tetapi, waktu SMA ini aku mulai agak sering minum kopi, walaupun tidak sesering sekarang ini. Tiap sabtu malam, entah kenapa aku selalu merasa ingin menyeduh kopi.Waktu itu yang masih jadi favoritku adalah kopi instan kelas "ringan" seperti Good Day dan Kopiko Brown Coffee. Waktu itu aku belum mengenal kopi-kopi premium yang dibuat menggunakan mesin Espresso, dan kurang menggemari kopi hitam.

Kebiasaan ini berlanjut sampai sekitar satu tahun kuliah. Aku masih tidak begitu sering ngopi seperti sekarang. Bagiku saat itu, kopi hanya minuman yang aku nikmati sekali-kali di akhir pekan karena tubuhku saat itu masih sensitif kafein: ngopi jam enam sore bisa membuatku terjaga sampai pukul dua pagi. Daripada ambil resiko terlambat kuliah gara-gara begadang, lebih baik minum kopi hanya ketika akhir pekan saja.

Tahun kedua kuliah, aku mulai butuh ngopi. Pasalnya, banyak matakuliah saat itu mengharuskanku untuk melahap banyak bacaan dan membuat esai tentangnya. Alhasil, seringkali minuman hitam itu aku pakai untuk menjadi semacam ramuan yang membuatku tetap terjaga demi tugas. Saat itu juga, aku mulai kecanduan kopi sampai sekarang.

Kalau dulu aku hanya ngopi seminggu sekali, mulai tahun itu aku mulai harus minum kopi setidaknya satu cangkir per hari. Kalau dulu yang aku nikmati hanya kopi-kopi kelas teri yang dijual seribu rupiah per sachet, saat ini malah aku lebih menyukai kopi hitam pekat, bukan lagi kelas instan. Aku juga mulai menjajal espresso-based coffee yang, meskipun harganya agak mahal, mampu membuatku lumayan ketagihan.

Bahkan akhirnya aku pun berencana membuka kedai kopiku sendiri.

* * * 

Bagiku, kopi bukan hanya sekedar minuman manis berperisa seperti sirup atau susu. Bagiku, kopi sangat erat hubungannya dengan aktivitas batin manusia karena kafein yang dikandungnya mempu merangsang otak untuk lebih bekerja.

Konon, dari yang pernah aku baca, kopi dahulu kala digunakan oleh kaum sufi agar mereka mampu dan kuat berzikir semalaman. Kopi juga seringkali digunakan oleh para intelektual untuk merangsang otak mereka agar mampu bekerja, membaca atau menulis. Tak heran, seringkali kita temui orang-orang yang menulis di warung kopi, atau bahkan warung kopi yang merangkap tempat diskusi.

Kopi, dalam sejarahnya, juga menjadi jembatan kedua budaya yang seringkali berbenturan, yaitu budaya Eropa dan Arab/Islam. Dalam sejarahnya, konon orang Eropa pertama kalimengenal kopi dari perbekalan pasukan Turki yang saat itu gagal menaklukkan kota Vienna. Bahkan, kopi, yang menjadi sumber energi bagi para pecinta Tuhan agar kuat menyebut namaNya semalaman, pada akhirnya juga mencapai Vatikan.  

Ada sebuah anekdot yang cukup menggelitik yang konon datangnya dari Paus Clement VII. Kopi yang saat itu dianggap sebagai "minuman orang kafir" atau "minuman setan" di daratan Eropa akhirnya sampai juga kehadapan sang paus. Ketika ia mencicipi secangkir kopi, beliau pun berujar

"Wah, minuman setan ini enak juga. Kita mesti mencurangi para setan itu dengan membaptis minuman mereka ini!"

Anda tersenyum? Sama, saya juga. Kononnya, paus Clement VIII membaptis kopi dan sejak saat itu popularitasnya mulai menyebar ke daratan Eropa.

Entah anekdot di atas mengandung kebenaran ataupun tidak, yang jelas sampai sekarang kopi menjadi minuman yang bisa dikatakan paling populer di dunia. Ia bisa dinikmati kapan saja, pagi sampai malam hari, dan dengan cara apa saja: espresso, Vietnam drip, tubruk, a la Turki, dll.

Namun bagiku, ia bukan sekedar minuman. Ia adalah energi. 
Rabu, 25 Maret 2015 0 komentar

The Age of [Unnecessary] Communication

Zaman sekarang, sepertinya memiliki beberapa akun media sosial, aplikasi perpesanan, dan piranti-piranti yang mempermudah penggunaannya bukan lagi perkara pilihan, tapi sudah masuk ranah kelaziman, bahkan kewajiban.

Sekitar dua tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk tak lagi memakai telepon genggam warisan bapakku dan membeli telepon genggam sendiri, aku lebih memilih telepon genggam sederhana yang cukup untuk sekedar menelepon atau berkirim pesan singkat. Maka pilihanku jatuh kepada Nokia Asha 305, telepon genggam bermodel candy bar dengan warna dominan biru muda. Sebenarnya kalau bicara masalah biaya, uang yang aku punya saat itu cukup untuk membeli telepon genggam Android dengan berbagai fitur-fitur perpesanan yang bermacam-macam, entah WhatsApp, Line, BBM, dan berbagai aplikasi lainnya yang perkembangan pasarnya sangat pesat. Namun dasar aku ini aneh, aku tak seperti banyak orang lainnya yang gandrung menghabiskan waktu dengan menatap layar piranti komunikasi sambil bercakap dengan orang nun jauh diluar sana. Aku lebih menyukai jika waktuku untuk mambaca, menonton film, berkontemplasi, atau bermeditasi tidak terganggu oleh notifikasi-notifikasi yang membuat telepon genggam diselingi bunyi "pling!" untuk satu obrolan yang tidak penting.

(Aku ingat pernah memasang aplikasi Line di telepon genggamku itu satu ketika. Ya Tuhan! Betapa berisiknya...)

Begitupun dengan akun-akun media sosial. Sejauh yang aku ingat, hanya tiga akun media sosial yang aku gunakan: Facebook, Twitter, dan Tumblr. Memang ada beberapa akun lain yang pernah aku buat, seperti Muxlim, Millat Facebook, dan Google+. Tapi akun-akun itu sudah lama sekali tak kuurus, dan yang benar-benar aku pakai tinggal yang tiga itu. Aku memakai Facebook karena sudah terlanjur mencandu bagiku. Tumblr aku pilih sebagai sarana blogging karena interface-nya yang jauh lebih mudah daripada Wordpress atau Blogger. Kalau Twitter sebenarnya dulu aku mendaftar hanya demi kepentingan akademik, supaya bisa memantau Jarkom dari himpunan mahasiswa jurusanku, tapi aku kini jarang memakai Twitter karena fiturnya yang terbatas. 140 karakter terlalu terbatas untuk gaya tulisanku yang cenderung mendetail.

(Selain itu, alasan mengapa aku kini menghindari Twitter adalah karena menurutku Twitter itu isinya tidak begitu layak baca dan trending topiknya cenderung bodoh, seperti luahan perasaan galau yang alay; Twit war kurang kerjaan antara Joko Anwar dan Marissa Haque; serta penggiringan opini publik yang tidak kritis dan cenderung ikut-ikutan semacam hashtag #SaveHajiLulung.)

Tapi kadang aku tidak bisa mengerti betapa gandrungnya orang Indonesia, yang oleh Al Jazeera sempat dijuluki The Social Media Capital, dengan aplikasi media sosial dan perpesanan. Satu orang pengguna media sosial di Indonesia bisa memiliki sampai lima akun atau lebih di aplikasi perpesanan dan media sosial. Padahal, kalau dipikir-pikir teman-temannya di akun-akun media sosial dan aplikasi pertemanannya ya itu-itu juga. Sering aku melihat orang yang menyebarkan ID aplikasi pertemanan dan/atau perpesanannya di beranda Facebook dan meminta orang-orang yang menjadi temannya di Facebook untuk menambahkannya sebagai teman di aplikasi pertemanan dan/perpesanan yang berbeda. Bukankah, kalau dipikir-pikir, ini absurd?

Kalau ujungnya hanya meminta teman-teman kita di Facebook untuk menambahkan akun-akun kita di lima akun media sosial lain, untuk apa punya banyak-banyak akun kalau teman-temannya itu-itu juga?

Keherananku tak berhenti sampai di sini. Aku juga heran dengan orang-orang yang lebih memilih untuk menekuri layar piranti elektroniknya ketika dia sedang berada di sekitaran orang-orang yang mereka sayangi, yang meraka kenal, dan yang mereka bisa ajak berkomunikasi. Fenomena aneh seperti ini sering aku jumpai ketika aku sedang berada di tempat-tempat makan. Kadang-kadang aku melihat orang yang duduk semeja dengan ditemani sahabat, kerabat, atau pasangan, tapi matanya sibuk menatap layar yang menyala terang, sambil cekikikan dan memainkan jari-jemarinya di layar sentuh. Untuk apa, kalau begitu, makan sambil ditemani seseorang kalau pada akhirnya lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada orang-orang di dunia virtual?

Entahlah, mungkin curahan pikiranku di atas terdengar nyinyir, terdengar sinis. Tapi sejujurnya, menurutku penggunaan aplikasi pertemanan dan perpesanan di Indonesia sudah mencapai tingkat eksesif. Orang tidak lagi peduli untuk menyimpan kehidupannya untuk dirinya sendiri, terutama hal-hal yang sifatnya pribadi. Mulai dari apa yang kita makan, apa yang kita lakukan, dengan siapa, apa yang kita rasakan, semuanya kita bagikan dengan orang-orang di sekitar. Ruang untuk provasi semakin menyempit, rasa haus dan lapar akan  perhatian berupa like atau komentar dari orang lain menjadi kebutuhan yang bagai menghimpit.

Di sisi lain, secara sadar atau tidak sadar, kita menjadi semacam konsumen untuk kehidupan orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu untuk menekuri tulisan di laman maya untuk membaca apa yang orang pikirkan, foto makanan meraka, apa yang sedang mereka rasakan, dsb. Apa signifikansinya bagi kehidupan pribadi  kita sendiri, padahal?

Tunggu, aku sama sekali tidak sedang merutuki kemajuan zaman. Bagiku, semua itu ada manfaat yang cukup besar. Aku sendiri terhubung dengan banyak orang yang sudah lama tidak aku jumpai lewat Facebook, begitu juga dengan Varsity baru yang aku beli secara online lewat sebuah grup jual beli di dunia maya, atau konten-konten inspiratif yang sering aku baca lewat Tumblr. Semua itu baik, semua itu bagus.Namun, aku pikir ada kalanya hingar-bingar teknologi ini sudah nyaris hilang kontrol.

Zaman sekarang, orang rela menghabiskan berjam-jam demi memantau status, atau postingan. Kadang-kadang, ketika feedback  yang didapatkan berupa komentar yang tidak diharapkan, orang bisa bertengkar dan berdebat dengan sesama pengguna piranti dunia maya. Tidak jarang, mereka bertengkar dengan orang yang sama sekali tidak mereka kenal. Belum lagi ketika media sosial menjadi ajang untuk bersumpah serapah, saling menghina dan menyakiti., dll.

Namun begitu, masalah yang paling krusial dalam hal penggunaan media sosial adalah masalah teralihkannya lebih banyak fokus ke dunia maya. Alih-alih terfokus pada kehidupan mereka yang riil, orang zaman sekarang sepertinya lebih sibuk memikirkan bagaimana bisa menampilkan citra diri yang paling baik di dunia maya. Seolah-olah, mengabarkan kepada dunia tentang kehidupan kita jadi lebih penting daripada menjalani kehidupan itu sendiri.

Begitupun dalam interaksi, sepertinya kini tinggal sedikit ruang yang tersisa untuk menyendiri. Semua orang sibuk berkomunikasi melalui berbagai piranti, meskipun terkadang tidak begitu penting atau mendesak. Pemandangan orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan mata lekat pada layar telepon genggam atau layar Loh besi menjadi hal yang wajar. Ironisnya, hal-hal seperti ini jamak juga terjadi di tengah-tengah perkumpulan sosial, di mana para anggotanya nampaknya lebih menikmati menekuri layar daripada berinteraksi satu sama lain.

Ah, aku ini memang aneh dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.
Kamis, 22 Januari 2015 0 komentar

The Fat Philosopher Reborn: It's Basically a Restart

Susah memang jadi orang yang nggak fokus: Semua gerakan-garakan dan inisiatifnya sifatnya impulsif. Sering berubah-ubah dan nggak konsisten. Dapet inspirasi ini, lakuin ini. Belum kelar, dapet inspirasi itu, lakuin itu. Nggak ada yang beres sama sekali akhirnya. Ya karena nggak fokus!

Begitupun dalam hal tulis-menulis di dunia maya. Sebenernya gue ini suka nulis, tapi pada akhirnya nggak ada yang fokus. Pernah bikin WordPress, udah nggak keurus sama sekali. Punya Tumblr isinya cuman curhatan pribadi, giliran bikin akun Tumblr baru buat fokus nulis tentang satu atau beberapa tema, ditinggal lagi. Blog ini pun gitu, pernah mengalami berbagai pasang surut -bahkan hiatus- dan sekarang gue malah putuskan buat hapus semua postingan dan mulai dari awal lagi.

[Tadinya malah niat bikin akun baru lagi!]

Salah satu yang bikin gue bosen ngeblog karena gue cuman menggunakan sarana blogging buat nyalurin apa-apa yang ada di otak gue begitu saja. Nggak ada tema besar, nggak ada rancangan, nggak ada spesifikasi bahasan. Lagi pengen ngomongin tentang cewek bercadar, tulis tentang cewek bercadar; lagi pengen ngomongin tentang makanan, ngomongin makanan; lagi pengen galau, tulis cerpen galau. Akhirnya blog gue malah jadi berantakan.

Gue memutuskan buat mulai lagi blog ini dari awal. Rencananya sih, postingan-postingan di blog ini Insya Allah cuman bakalan berkisar antara hal-hal berikut:

- Review buku atau film
- Terjemahan artikel yang gue rasa bagus
- Resep masakan. Yes, I'm freakin love cooking
- Tulisan-tulisan refleksi yang sifatnya bukan curhat
- Cerpen
- Kutipan dari artikel/buku yang gue rasa bagus

Gue harap, dengan pembagian bentuk-bentuk dasar tulisan yang rencananya bakalan menuhin blog gue yang baru direstart ini, laman ini jadi nggak bakalan terlalu berantakan karena jadi lebih gampang ngatur tag-nya. Selain itu, dengan pembagian yang lebih sistematis, mudah-mudahan gue bakalan lebih terangsang buat nulis, dan tentunya kali ini mudah-mudahan lebih fokus dan nggak perlu restart lagi atau bikin akun baru lagi.

Ah, semoga...
 
;