Rabu, 25 Maret 2015 0 komentar

The Age of [Unnecessary] Communication

Zaman sekarang, sepertinya memiliki beberapa akun media sosial, aplikasi perpesanan, dan piranti-piranti yang mempermudah penggunaannya bukan lagi perkara pilihan, tapi sudah masuk ranah kelaziman, bahkan kewajiban.

Sekitar dua tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk tak lagi memakai telepon genggam warisan bapakku dan membeli telepon genggam sendiri, aku lebih memilih telepon genggam sederhana yang cukup untuk sekedar menelepon atau berkirim pesan singkat. Maka pilihanku jatuh kepada Nokia Asha 305, telepon genggam bermodel candy bar dengan warna dominan biru muda. Sebenarnya kalau bicara masalah biaya, uang yang aku punya saat itu cukup untuk membeli telepon genggam Android dengan berbagai fitur-fitur perpesanan yang bermacam-macam, entah WhatsApp, Line, BBM, dan berbagai aplikasi lainnya yang perkembangan pasarnya sangat pesat. Namun dasar aku ini aneh, aku tak seperti banyak orang lainnya yang gandrung menghabiskan waktu dengan menatap layar piranti komunikasi sambil bercakap dengan orang nun jauh diluar sana. Aku lebih menyukai jika waktuku untuk mambaca, menonton film, berkontemplasi, atau bermeditasi tidak terganggu oleh notifikasi-notifikasi yang membuat telepon genggam diselingi bunyi "pling!" untuk satu obrolan yang tidak penting.

(Aku ingat pernah memasang aplikasi Line di telepon genggamku itu satu ketika. Ya Tuhan! Betapa berisiknya...)

Begitupun dengan akun-akun media sosial. Sejauh yang aku ingat, hanya tiga akun media sosial yang aku gunakan: Facebook, Twitter, dan Tumblr. Memang ada beberapa akun lain yang pernah aku buat, seperti Muxlim, Millat Facebook, dan Google+. Tapi akun-akun itu sudah lama sekali tak kuurus, dan yang benar-benar aku pakai tinggal yang tiga itu. Aku memakai Facebook karena sudah terlanjur mencandu bagiku. Tumblr aku pilih sebagai sarana blogging karena interface-nya yang jauh lebih mudah daripada Wordpress atau Blogger. Kalau Twitter sebenarnya dulu aku mendaftar hanya demi kepentingan akademik, supaya bisa memantau Jarkom dari himpunan mahasiswa jurusanku, tapi aku kini jarang memakai Twitter karena fiturnya yang terbatas. 140 karakter terlalu terbatas untuk gaya tulisanku yang cenderung mendetail.

(Selain itu, alasan mengapa aku kini menghindari Twitter adalah karena menurutku Twitter itu isinya tidak begitu layak baca dan trending topiknya cenderung bodoh, seperti luahan perasaan galau yang alay; Twit war kurang kerjaan antara Joko Anwar dan Marissa Haque; serta penggiringan opini publik yang tidak kritis dan cenderung ikut-ikutan semacam hashtag #SaveHajiLulung.)

Tapi kadang aku tidak bisa mengerti betapa gandrungnya orang Indonesia, yang oleh Al Jazeera sempat dijuluki The Social Media Capital, dengan aplikasi media sosial dan perpesanan. Satu orang pengguna media sosial di Indonesia bisa memiliki sampai lima akun atau lebih di aplikasi perpesanan dan media sosial. Padahal, kalau dipikir-pikir teman-temannya di akun-akun media sosial dan aplikasi pertemanannya ya itu-itu juga. Sering aku melihat orang yang menyebarkan ID aplikasi pertemanan dan/atau perpesanannya di beranda Facebook dan meminta orang-orang yang menjadi temannya di Facebook untuk menambahkannya sebagai teman di aplikasi pertemanan dan/perpesanan yang berbeda. Bukankah, kalau dipikir-pikir, ini absurd?

Kalau ujungnya hanya meminta teman-teman kita di Facebook untuk menambahkan akun-akun kita di lima akun media sosial lain, untuk apa punya banyak-banyak akun kalau teman-temannya itu-itu juga?

Keherananku tak berhenti sampai di sini. Aku juga heran dengan orang-orang yang lebih memilih untuk menekuri layar piranti elektroniknya ketika dia sedang berada di sekitaran orang-orang yang mereka sayangi, yang meraka kenal, dan yang mereka bisa ajak berkomunikasi. Fenomena aneh seperti ini sering aku jumpai ketika aku sedang berada di tempat-tempat makan. Kadang-kadang aku melihat orang yang duduk semeja dengan ditemani sahabat, kerabat, atau pasangan, tapi matanya sibuk menatap layar yang menyala terang, sambil cekikikan dan memainkan jari-jemarinya di layar sentuh. Untuk apa, kalau begitu, makan sambil ditemani seseorang kalau pada akhirnya lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada orang-orang di dunia virtual?

Entahlah, mungkin curahan pikiranku di atas terdengar nyinyir, terdengar sinis. Tapi sejujurnya, menurutku penggunaan aplikasi pertemanan dan perpesanan di Indonesia sudah mencapai tingkat eksesif. Orang tidak lagi peduli untuk menyimpan kehidupannya untuk dirinya sendiri, terutama hal-hal yang sifatnya pribadi. Mulai dari apa yang kita makan, apa yang kita lakukan, dengan siapa, apa yang kita rasakan, semuanya kita bagikan dengan orang-orang di sekitar. Ruang untuk provasi semakin menyempit, rasa haus dan lapar akan  perhatian berupa like atau komentar dari orang lain menjadi kebutuhan yang bagai menghimpit.

Di sisi lain, secara sadar atau tidak sadar, kita menjadi semacam konsumen untuk kehidupan orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu untuk menekuri tulisan di laman maya untuk membaca apa yang orang pikirkan, foto makanan meraka, apa yang sedang mereka rasakan, dsb. Apa signifikansinya bagi kehidupan pribadi  kita sendiri, padahal?

Tunggu, aku sama sekali tidak sedang merutuki kemajuan zaman. Bagiku, semua itu ada manfaat yang cukup besar. Aku sendiri terhubung dengan banyak orang yang sudah lama tidak aku jumpai lewat Facebook, begitu juga dengan Varsity baru yang aku beli secara online lewat sebuah grup jual beli di dunia maya, atau konten-konten inspiratif yang sering aku baca lewat Tumblr. Semua itu baik, semua itu bagus.Namun, aku pikir ada kalanya hingar-bingar teknologi ini sudah nyaris hilang kontrol.

Zaman sekarang, orang rela menghabiskan berjam-jam demi memantau status, atau postingan. Kadang-kadang, ketika feedback  yang didapatkan berupa komentar yang tidak diharapkan, orang bisa bertengkar dan berdebat dengan sesama pengguna piranti dunia maya. Tidak jarang, mereka bertengkar dengan orang yang sama sekali tidak mereka kenal. Belum lagi ketika media sosial menjadi ajang untuk bersumpah serapah, saling menghina dan menyakiti., dll.

Namun begitu, masalah yang paling krusial dalam hal penggunaan media sosial adalah masalah teralihkannya lebih banyak fokus ke dunia maya. Alih-alih terfokus pada kehidupan mereka yang riil, orang zaman sekarang sepertinya lebih sibuk memikirkan bagaimana bisa menampilkan citra diri yang paling baik di dunia maya. Seolah-olah, mengabarkan kepada dunia tentang kehidupan kita jadi lebih penting daripada menjalani kehidupan itu sendiri.

Begitupun dalam interaksi, sepertinya kini tinggal sedikit ruang yang tersisa untuk menyendiri. Semua orang sibuk berkomunikasi melalui berbagai piranti, meskipun terkadang tidak begitu penting atau mendesak. Pemandangan orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan mata lekat pada layar telepon genggam atau layar Loh besi menjadi hal yang wajar. Ironisnya, hal-hal seperti ini jamak juga terjadi di tengah-tengah perkumpulan sosial, di mana para anggotanya nampaknya lebih menikmati menekuri layar daripada berinteraksi satu sama lain.

Ah, aku ini memang aneh dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.
 
;