Jumat, 05 Juni 2015 0 komentar

Moving Out, Moving On

It's official. Setelah nyaris lima tahun menetap di kamar sewaan yang sama semenjak 2010, untuk pertama kalinya aku pindah kosan. Sejak awal Mei kemarin, aku sudah rajin-rajin berburu tempat sewaan yang bisa aku tinggali dalam tempo beberapa bulan saja. Bukan pekerjaan yang mudah mencari tempat kos yang boleh bayar bulanan. Belum lagi kenaikan harga sewa selama beberapa tahun terakhir yang membuat budgeting semakin sulit.

Alhamdulillah, ketemu juga satu tempat kos yang bisa bayar bulanan dengan sewa yang relatif murah. Beberapa puluh meter dekat Jatinangor Town Square, ada sebuah pondokan yang bisa ditempati dengan harga kurang dari empat ratus ribu per bulannya, tentunya dengan fasilitas yang seadanya: sebuah kasur tipis yang melesak ke dalam tiap kali aku berbaring di atasnya, serta fasilitas air dan listrik. Itu saja, bahkan sekedar bedside table pun tak ada. Tetapi aku sudah sangat bersyukur dapat tempat untuk tinggal sementara aku berjuang menyelesaikan skripsiku.

Tapi lumayan asyik juga, kosan baruku ini terletak di lokasi yang sangat strategis. Tidak seperti Ciseke Kecil yang terpencil menyempil disesaki bangunan-bangunan yang tidak mungil, kosanku ini (Pondok Wiry namanya) terletak di pinggir jalan dekat salah satu pusat keramaian Jatinangor. Diapit oleh dua pusat perbelanjaan (Jatos dan Griya) serta banyak terdapat tempat makan (Checo, Belike Coffee, Waroeng Steak, Kedai Indra, dll) menjadikan lokasi ini strategis untuk bersenang-senang ketika melepas penat.  Lokasi yang tidak tertutup bangunan-bangunan juga membuat sirkulasi sinyal lebih lancar.

Urusan mencari tempat selesai, selanjutnya masalah pindahan. Ini juga jadi kesulitan tersendiri mengingat selama lima tahun tinggal di kosan lama, aku sama sekali tak pernah memulangkan sebagian barang-barangku ke Tegal. Justru aku malah sering mengimpor buku-buku maupun barang-barang lainnya dari rumah. Seingatku aku pernah membawa dari rumah sebuah biografi Umar Ibn Al-Khattab karangan Haekal yang berat dan tebal yang begitu sesampainya di rantau tak pernah kusentuh lagi. Begitupun beberapa jilid Tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka yang hanya kubaca beberapa bagian saja. Belum lagi buku yang aku beli sendiri di Jatinangor yang rata-rata aku beli 5-8 buku per tahunnya.

Buku-buku, piring, varsity yang terkapar begitu saja di lantai kamar.
Kebayang 'kan? Dan barang-barangku pun bukan cuma buku lho. Ada pakaian (ini pun aku sering mengimpor dari rumah pakaian lungsuran almarhum bapakku), alat-alat kebersihan, sampai sebuah speaker aktif yang setia jadi temanku tiap hari. Tadinya aku berniat menyicil barang-barang itu semua dengan aku bawa sedikit-demi sedikit, tapi setelah kedua tanganku bergetar hebat sehabis berjalan kaki dari kosan lama ke kosan baru sambil membawa sekardus penuh buku yang berat-barat, aku putuskan untuk menggunakan jasa angkut barang. Selesai dalam sekali angkut meskipun jarak Ciseke Kecil - Jatos harus dibayar dengan harga yang lebih mahal dari tiket bus ekonomi Bandung - Tegal. 

Walhasil, barang-barang itu semuanya harus tergeletak begitu saja di lantai tanpa rak maupun lemari. Tak apalah...yang penting sudah bisa pindah. Itu pun aku sudah senang.

* * *

Terkadang, atau malah seringkali, banyak muncul epifani dan kesadaran dalam keadaan kita sedang diuji dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Karena kejayaan itu sering melenakan, kita jadi sering lalai terhadap kekurangan-kekurangan kita sendiri kalo segala sesuatunya sedang berjalan dengan smooth.

Ketika dalam masa down semester lalu karena harus mengulang satu mata kuliah di semester berikutnya dan menunda banyak sekali rencana, tiba-tiba banyak kekurangan diri sendiri yang hijabnya tersingkap begitu saja di depan mata. Aku pikir tadinya aku baik-baik saja, dan kalau ada yang salah itu pasti karena orang lain. Setelah menjalani perenungan sambil membaca banyak buku pengembangan diri (The Magic of Thinking Big-nya Schwartz dan How to Stop Worrying and Start Living-nya Carnegie paling banyak membantu), ternyata banyak sekali kesalahan-kesalahan diri sendiri yang mesti diperbaiki, mulai dari kebiasaan sering down, suka menunda-nunda, malas, dsb.Malu rasanya.

Aku percaya bahwa lahir dan batin pada dasarnya saling terkait, maka aku berharap dengan berpindahnya jasadku dari kosan lamaku, aku juga dapat menghijrahkan batin dan pikiranku dari kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak produktif.

Berpindah dari sesuatu yang telah lama membuat kita merasa nyaman emang tidak mudah, tapi aku harap hasilnya sepadan.

 
;