Sabtu, 12 Maret 2016 0 komentar

Barakah: Menggali Kemilau Tradisi

Tahun 2014, 2015, dan 2016 merupakan tahun-tahun yang produktif bagi Sami Yusuf. Setelah meluncurkan The Centre pada 2014 dan Songs of The Way pada 2015 lalu, musisi Inggris kelahiran Teheran ini kembali meluncurkan album di bawah label Andante Studios. Album ketujuhnya ini (kedelapan, jika kita memasukkan Without You yang masih dipersoalkan keabsahannya) diberi judul Barakah. Album ini memiliki track list sebagai berikut:

1. The Parties

2. Inna Fil Jannati

3. Hamziyya

4. Ya Rasul Allah 1

5. Ya Rasul Allah 2

6. Fiyashiyya

7. Ya Nabi

8. Ben Yururum Yane Yane

9. Araftul Hawa

10. Ya Hayyu Ya Qayyum

11. Taha

12. Asheqan

13. Barakah

14. The Iron

Berbeda dengan album-album sebelumnya, Barakah dimulakan dan diakhiri dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Di awal album kita akan mendengarkan seorang qari membacakan beberapa ayat surah Al-Ahzab, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Parties, dan di akhir album kembali dibacakan beberapa ayat Al-Qur’an, kali ini beberapa ayat surah Al-Hadid yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Iron. Hal ini sepertinya menyesuaikan dengan tradisi komunitas Muslim yang biasa mengawali acara-acara resmi dan perkumpulan dengan bacaan Al-Qur’an.

Begitupun dengan keseluruhan track album ini, Sami Yusuf kali ini memilih untuk tidak melakukan sendiri proses kreatif penulisan lagu-lagu dalam keseluruhan album ini. Dalam album ini beliau mendendangkan lagu-lagu yang bersumber dari syair, nasyid, dan musik sufi yang sudah menjadi tradisi dan masyhur di peradaban-peradaban Islam. Sebut saja lagu Fiyashiyya yang merupakan qasidah tradisional yang populer di Maroko, Ben Yururum Yane Yane yang merupakan syair gubahan penyair sekaligus sufi Turki terkenal Yunus Emre, serta Araftul Hawa yang liriknya dinisbatkan kepada Rabi’ah Al Adawiyah.

Beragamnya tradisi yang menjadi sumber album ini juga menjadikannya sangat berwarna dalam hal musikalitas. Tidak seperti My Ummah yang kental nuansa pop Arab atau The Centre yang bernuansa Persia, lagu-lagu dalam album ini dinyanyikan dalam nuansa yang sangat beragam. Ketika mendengarkan senandung Ya Nabi kita akan disuguhi musik berirama India dengan lirik berbahasa Arab, sementara Ben Yururum Yane Yane akan mengingatkan kita pada irama musik yang biasa digunakan dalam pertunjukan tarian sufi atau whirling dervishes di semenanjung Anatolia. Susunan musik dalam album ini pun tidak begitu “berat” dan tidak menggunakan banyak alat musik strings seperti dalam album-album sebelumnya. Beberapa lagu bahkan dinanyikan secara acapella atau hanya menggunakan tabuhan rebana.

Di tengah tren seni Islam kekinian yang semakin mengikut arus budaya pop, album ini hadir layaknya angin segar. Barakah membuktikan bahwa seni Islam memiliki warisan-warisan tersendiri yang tersebar dari Andalusia hingga anak benua India. Ia hadir sebagai bentuk ekspresi kecintaan hamba pada Tuhan dan RasulNya, dengan bernafaskan budaya-budaya lokal, serta dapat dikemas dengan sangat bagus tanpa harus mengkompromikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Album Barakah dapat didengarkan di sini.
Kamis, 03 Maret 2016 0 komentar

Bajrangi Bhaijaan: Ketika Cinta Menerobos Sekat-sekat.

Seandainya seorang gadis cilik bisu yang berbeda agama, suku, ras, atau bangsa dengan engkau tiba-tiba berdiri di ambang pintumu, tersesat dan terpisah jauh dari orangtuanya, maukah engkau menolongnya, bahkan hingga mengantarnya pulang? Menjawab pertanyaan ini, mungkin banyak dari kita akan secara normatif menjawab “Iya dong, pastinya!” meskipun mungkin kenyataannya banyak dari kita yang seringkali enggan menolong hanya karena sekat-sekat prejudis yang timbul dari pelbagai perbedaan di atas. Nah, film ini berkisah tentang seorang laki-laki yang memilih untuk mendobrak sekat-sekat itu dengan menyeberangi perbatasan dua negara demi mengembalikan seorang gadis kecil yang tersesat dan terpisah amat jauh dari kedua orangtuanya.

Tersebutlah Pawan Kumar Chaturvedi (Salman Khan), seorang pria underachiever namun baik hati. Pawan adalah seorang Hindu yang memuja dewa Bajrangbali –atau biasa dikenal dengan dewa Hanoman- dengan ketaatan tanpa cela. Ketaatan pada Bajrangbali inilah yang menjadikannya pria yang sangat lurus dan jujur, pantang berbohong dan berbuat tidak jujur sekalipun. Di tempat lain, seorang gadis lima tahun bernama Shahida Rauf (Harshaali Malhotra) tinggal bersama kedua orangtuanya di perbukitan hijau desa Sultanpur, di daerah Kashmir yang masuk wilayah Pakistan. Dalam usianya yang lima tahun tersebut, Shahida belum bisa berbicara. Ibu Shahida pun memutuskan untuk membawanya berziarah ke makam wali Nizamuddin Awliya di Delhi untuk berdoa memohon agar Tuhan mengaruniakan Shahida kemampuan berbicara (mungkin semacam tradisi tawasulan atau tabarukan di Indonesia).

Cerita mulai bergulir ketika Shahida kecil terpisah dari ibunya dalam perjalanan pulang ke Pakistan. Nasib mempertemukannya dengan Pawan di Kurukshetra, sebuah daerah di India. Pawan yang lembut hati merasa iba dan membawanya ke Delhi bersamanya. Bersama Rasika (Kareena Kapoor Khan) calon istrinya, Pawan merawat Shahida tanpa mengetahui identitas lengkapnya. Setelah mengetahui bahwa Shahida adalah gadis Muslim asal Pakistan, Dayanand (Sharat Saxena), ayah Rasika sekaligus orang yang menampung Pawan selama tinggal di Delhi, menolak untuk mengizinkan Shahida tinggal di rumahnya. Situasi politik kedua negara yang tengah memanas membuat pengurusan visa dan paspor ditutup. Tak ada jalan lain, Pawan pun harus menerobos perbatasan demi mengembalikan Shahida kepada kedua orangtuanya. Ditemani Chand Nawab (Nawazuddin Siddiqui), seorang reporter Pakistan, Pawan Chaturvedi menempuh perjalanan menembus batas serta menghindari kejaran petugas sampai ke Kashmir wilayah Pakistan.

Wikipedia mengklasifikasikan film ini sebagai film drama-comedy. Klasifikasi yang tidak salah, karena memang di sepanjang film cukup banyak adegan-adegan yang mengundang tawa. Contohnya ketika Pawan yang kelewat jujur dan polos meminta izin dari petugas perbatasan setelah menyeberangi pagar besi secara sembunyi-sembunyi lewat terowongan. Belum lagi kelucuan yang timbul akibat perbedaan budaya dan agama, seperti Shahida yang tidak suka kare vegetarian yang disajikan istri Dayanand lari ke rumah tetangga yang beragama Islam demi bisa makan ayam. 

Sisi dramatis dalam film ini juga sangat heart-warming. mengajak kita untuk menerobos sekat-sekat perbedaan yang seringkali merintangi kita untuk sekedar berbuat baik kepada sesama manusia. Tokoh Pawan dalam film ini menggambarkan dengan apik bahwa cinta tidak melulu hadir atas dasar ketertarikan seksual, dan dapat mewujud dengan baik melalui sifat welas asih yang ditunjukkan Pawan kepada Shahida. Welas asih yang tidak memandang sekat-sekat Hindustan atau Pakistan, bersimpuh di masjid atau menunduk kepada patung Bajrangbali di kuil. Welas asih yang universal. 

Khazanah perfilman Bollywood seringkali dipandang sebelah mata oleh makhluk-makhluk Indonesia kelas menengah. Padahal, terkadang muncul juga film-fulm yang setelah menontonnya menyisakan berjuta bahan renungan. Bajrangi Bhaijaan ini salah satunya. Menontonnya membuat kita merenungi dan menelaah kembali mengenai keberagaman, apakah ia menjadi sumber keindahan atau justru menghalangi kita dari melihat rasa kemanusiaan dalam diri orang lain.    
 
;