Kamis, 20 Oktober 2016 0 komentar

Tidak begini, tidak begitu

Entah kenapa, semakin bertambah usia, aku semakin meyakini bahwa di dunia sekarang ini agak sulit untuk menilai segala sesuatunya secara hitam putih. Secara normatif, tentu saja, hitam dan putih seringkali diposisikan dengan garis batas yang jelas dan terang, namun pada kenyataannya banyak fenomena-fenomena di dunia ini yang belang: ada hitamnya, ada pula putih yang tersapu di sana-sini.

Njelimet ya? baik, aku beri sedikit ilustrasi supaya ada titik terang. 

Fenomena figur publik yang merokok, misalnya. Banyak orang setuju bahwa merokok adalah aktifitas yang mudharat. Selain asapnya yang menyimpan segunung bahaya kesehatan, aktifitas merokok bisa juga dipandang sebagai suatu pemborosan: membakar uang demi beberapa hisap nikotin yang meninggalkan jejak adiksi bagi para penikmatnya. Banyak pula orang setuju bahwa aktifitas ini tidak seharusnya ditiru, dan dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. 

Banyak dari kita setuju dengan poin-poin di atas. 

Nah, di awal pemerintahan presiden yang baru menjabat dua tahun ini, salah satu kontroversi yang mencuat adalah dilantiknya seorang menteri perempuan yang punya sisi-sisi yang "anti-mainstream", selain rekam jejaknya yang membuat orang mungkin berdecak kagum, ada satu sisi yamg dipandang sebagai sebuah cela: sang menteri adalah perempuan yang merokok. Hebohlah media massa seantero negeri. Termasuk di antaranya komentar dari seorang ustadz termasyhur yang mengatakan bahwa sang menteri tidak cocok jadi teladan. 

Seiring berjalannya waktu, sang menteri pun ternyata menunjukkan kebijakan-kebijakan yang direspon positif oleh publik. Ketegasannya dalam menghadapi para pencuri ikan di perairan Indonesia menjadi info hangat yang menghiasi corong-corong berita. Tato di kaki dan kebiasaan merokok tak lagi menjadi halangan untuk menghargai integritasnya. 

Nah, dari sini aku belajar bahwa mungkin ada kebaikan-kebaikan yang memiliki bercak-bercak hitam dan cela, sebagaimana ada keburukan yang mungkin masih ada sedikit cercah-cercah kesucian di dalamnya. Sang menteri mungkin punya cacat di sana-sini, namun bukan berarti kita tak bisa menghargai hasil kerja beliau yang profesional, bukan berarti pula kita memposisikannya sebagai teladan yang kita tiru bulat-bulat segala tindak-tanduknya.

Bisa dibilang, sikapku tidak begini, tidak pula begitu. Ada ruang-ruang kompromi di sana-sini. 

* * * 

Akhir-akhir ini, perhatian publik Indonesia banyak tersedot pada event lima tahunan, yang terjadi di satu wilayah kecil namun gaungnya sampai nyaris ke seluruh negeri. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tengah menjadi bahan obrolan panas di sana-sini, dari diskusi-diskusi di layar televisi hingga obrolan-obrolan santai di warung kopi. Tidak terkecuali jagat maya seluruh negeri yang disesaki berbagai opini.

Indonesia, yang disebut oleh Al-Jazeera sebagai The Social Media Capital, punya publik yang sangat responsif terhadap gonjang-ganjing apapun yang terjadi di media sosial. Nggak terhitung banyaknya isu-isu yang beberapa kali membuat media sosial bergolak, mulai dari sang menteri yang aku sebut di atas sampai persoalan "4 dikali 6 atau 6 dikali 4". Fasilitas yang disediakan media sosial berupa ruang bebas untuk bersuara menyebabkan retorika dan opini yang muncul pun begitu beragam.

Nah, di tengah riuhnya pertukaran opini ini, sikapku pun tidak berubah. Seringkali aku menyetujui pendapat di satu sisi, namun tidak menyetujui pendapat di sisi lainnya karena bisa jadi pendapat yang aku setujui punya titik-titik retorika yang cacat, atau pendapat yang tidak aku sepakati punya nilai kebenaran di lihat dari sudut yang lain.

Namun sepertinya, bagi para partisan, agak sulit untuk memiliki ruang kompromi. Bagi mereka, mungkin, semua pihak yang berseberangan dengan apa atau siapa yang mereka perjuangkan harus dilihat secara total sebagai lawan atau musuh; tidak ada sedikitpun ruang untuk melihat kebaikan mereka.

Begitupun dengan para pihak yang menyuarakan kesetujuan terhadap opini-opini mereka, seringkali tidak ada ruang untuk melihatnya dalam kacamata yang lebih kritis. Tidak sedikit contoh di mana para partisan menyebarkan informasi yang mendukung cause mereka namun kemudian informasi tersebut terbukti hoax atau misinformasi. Sudah kepalang tersebar, nggak bisa ditarik lagi. Malu jadinya.

Mungkin tidak banyak juga yang berpikir sepertiku, bahwa bersikap hitam putih dalam hal dukung-mendukung dan menyikapi isu-isu politik bisa jadi bukan sikap yang tepat. Politik adalah masalah siasat, kadang-kadang siasat itupun mengharuskan para pelaku politik untuk bersikap fleksibel, untuk tidak mengatakan plin-plan. Kadang-kadang, ide atau ideologi yang membuat kita mendukung suatu sosok atau kelompok politik tertentu harus dibengkokkan demi mencapai kepentingan tertentu. Bahasa beratnya, pragmatis. 

Makanya, menurutku sih nggak perlu ekstrim-ekstrim amat mendukung atau memusuhi pihak politik tertentu. Kata peribahasa itu, tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Mungkin terlalu simplistik, tapi bisa jadi ada benarnya. Kita nggak pernah tahu sampai kapan sosok atau kelompok yang kita dukung akan tetap dalam pendiriannya. Dan kita juga nggak tau sampai kapan sosok dan kelompok yang kita selisihi akan berdiri di atas sesuatu yang tidak kita sepakati. Sepanjang ada kepentingan, semua itu bisa saja berubah-ubah.

Apalagi kalo kita harus mengorbankan keakraban dengan kerabat dan sahabat hanya karena kurang fleksibel dalam hal dukung-mendukung figur politik.

Ah, sayang sekali. Dunia terlalu indah untuk sekadar dibikin ribut-ribut urusan pilkada.

Jangan gitu-gitu amat, ah. 
 
;