Rabu, 05 Agustus 2015

Logat

"Aslinya dari mana, kang?"

"Tegal," jawabku.

"Oh...Tegal," balasnya sembari mencoba menekankan pada suku kata "gal" supaya terdengar medok.

* * * 

Skenario seperti tertulis di atas bukanlah hal yang asing bagiku. Ya, hampir tiap kali aku menjawab pertanyaan tentang kota asalku, orang yang bertanya selalu mencoba mempraktekkan logat yang, mungkin menurut mereka, seperti logat Tegal. Terkadang ada juga orang yang sengaja memintaku untuk berbicara dalam bahasa Tegal demi memenuhi rasa penasaran mereka. 

Pada awalnya aku merasa sedikit risih, karena merasa orang menjadikan budayaku sebagai bahan bercandaan. Tapi lama-lama aku biasa saja, bahkan menganggap bahwa upaya mereka mengimitasi bahasaku sebagai upaya ingin bersikap bersahabat. I'm now OK with that

Toh itu bukan sepenuhnya salah mereka. Pengetahuan banyak orang tentang cara bicara orang Tegal mungkin sangat dipengaruhi oleh penggambaran orang-orang Tegal di media, sinetron terutama. Sinetron Indonesia seringkali mengidentifikasi latarbelakang etnis tokoh-tokohnya menggunakan logat, yang tentu saja telah mengalami dramatisasi. 

Dalam kasus logat Tegal, logat di sinetron tidak sama dengan logat Tegal yang sebenarnya. Menurutku sih, logat dalam sinetron terjadi kerancuan antara logat Tegal dan logat Ngapak, yaitu dialek Jawa yang dipakai di daerah Jawa Tengah bagian selatan (Cilacap, Kebumen, Banyumas, dll.). Mirip sih, tapi tidak sama. Dan memang, logat Ngapak ini medoknya lebih terdengar dari logat Tegal, dan mungkin lebih dramatis dan cocok untuk acara-acara televisi. 

Sejauh ini, baru ada tiga tokoh yang menurutku logat Tegalnya lebih mendekati aslinya: Pampam dari sinetron lawas Tuyul dan Mbak Yul, serta tokoh Sakiyat dan Man Damin dari sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Itupun karena pemerannya asli orang Tegal. 

Alhamdulillah, salah satu kemudahan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku adalah bakat linguistik yang memudahkan aku mempelajari bahasa dan menyesuaikan diri dengan logat-logat lawan bicara. Ketika SMA, aku merantau ke Jogja dan mempelajari bahasanya; kemudian belajar bahasa Inggris dengan logat American ataupun British; berbicara dengan Tuhan dalam bahasa Arab dialek Quraisy abad ke-7 dengan tajwid dan makharijul huruf-nya; marantau ke tanah Sunda dan berusaha sedikit-sedikit juga mempelajari bahasanya; bergaul dengan teman-teman dari Ibu Kota dan mengimitasi gaya loe gue-nya. Walhasil, logat medok Tegalku sudah hilang tak tahu ke mana. 

Kadang-kadang, ada juga yang bertanya:

"Asli mana?" 

"Tegal."

"Lho, kok enggak medok?"

Biasanya aku hanya balas dengan nyengir.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;