Kamis, 24 Desember 2015 0 komentar

Modus Pengemis Dramatis

Minggu pagi. Ketika itu aku tengah duduk bersila di basement Masjid Raya Padjadjaran, atau biasa dikenal juga dengan Bale Aweuhan. Mataku tengah beradu dengan layar laptop yang memancar tidak begitu terang. Dari belakang laptop itu mengekor seutas kabel yang terhubung ke sebuah power outlet yang menempel pada tiang putih. Di depanku terpampang halaman Microsoft Word dengan kursor berkedip-kedip. Ketukan-ketukan jemari di atas papan tuts tidak terdengar oleh telingaku yang tersumpal oleh earphone kecil. Aku tengah mengerjakan skripsi di lantai paling dasar masjid kampus ketika sesosok lelaki tambun berkopeah mendekatiku dengan wajah muram.

"Kuliah di sini dek?" Tanyanya berbasa-basi. Akupun mengiyakan. 

"Semester berapa?" tanyanya lagi. Ini jenis pertanyaan sensitif yang tidak begitu aku sukai. 

"Lagi skripsi pak," jawabku sambil tersenyum. 

"Oh, semoga cepet selesai ya," katanya dalam bahasa Sunda. 

"Gini dek, bapak mau minta tolong, boleh enggak?" dia bertanya lagi. Setelah aku bertanya apa yang jadi hajatnya, dia menjelaskan. 

"Mau enggak dek bantu bapak supaya enggak murtad. Bapak mau beli kitab Shahih Bukhari, harganya Rp. 240.000. Bisa bantu bapak enggak dek?"

Well, that escalated quickly. Dari nanya-naya semester berapa, tiba-tiba malah jadi ke masalah murtad. Lagipula, mau murtad atau tidak, itu 'kan ujungnya ada di pilihan dia. Kenapa tiba-tiba urusannya jadi minjem duit? Dan, oh, kalo orang mau murtad berarti bisa disimpulkan imannya lagi down. Tapi...membaca Shahih Bukhari sendirian, tanpa guru, itu mah harusnya udah level orang alim yang imannya minimal enggak gampang goyah!

Berjuta pertanyaan meletup di kepala, tapi aku sudah terlampau hapal. Ini sih model-model pengemis dramatis yang suka berkeliaran di sekitar Bandung - Jatinangor. Dengan sopan, permintaannya kutolak. 

"Maaf pak, enggak ada. Kemarin uang saya habis buat servis laptop," kataku. Sehari sebelumnya memang aku membeli charger laptop baru yang membuat rekeningku tersedot. Aku tidak sedang berbohong. 

"Kalo gitu bapak pinjem dua puluh ribu aja dek, buat pulang," hibanya dengan suara agak memelas. "Kaki bapak patah dek, dari tadi cari pinjaman sampai ke Cicalengka enggak dapet," kemudian ia menyingkap betisnya yang dibebat perban cokelat. 

Perasaan tadi pas dia jalan mendekat sama sekali enggak pincang, batinku.

Lagipula, dia tidak memakai tongkat berjalan. Padahal, untuk sampai ke basement masjid kampus harus menuruni anak tangga. Gimana caranya orang patah kaki turun anak tangga tanpa tongkat berjalan?

Aku berkeras menolak, meski dengan halus, tapi si bapak berkopeah meuni keukeuh. Tampaknya ia tidak akan enyah sebelum isi dompetku bertransmigrasi ke sakunya. 

"Kalo gitu berapa aja deh dek, buat nengokin anak bapak yang gegar otak." 

Tadi mau murtad, trus kaki patah, terakhir anak gegar otak. Kenapa dalam jangka waktu kurang dari sepuluh menit keluhannya berubah-ubah dan beraneka ragam? 

"Hapunten pak, enggak ada," timpalku sehalus mungkin dengan senyum yang berusaha lebih manis dari model iklan pasta gigi. Aku memang bukan orang yang suka konflik terbuka, jalan yang sering aku pilih adalah dengan menjadi pasif-agresif. 

"Oh, gitu...ya udah deh, Assalamualaikum." Si bapak tambun berkopeah pamit undur diri, meninggalkanku yang geleng-geleng kepala sambil nyengir kuda. 

* * * 

Sebelum dihakimi massa sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan dengan menolak permintaan tolong orang lain, aku jelasin ya: itu semua cuma modus!

Iya, cuma modus. Sudah bukan sekali-dua kali aku ketemu dengan orang-orang semacam si bapak kopeah tadi. Pertama kali aku berhadapan dengan sosok pengemis dengan cerita mengenaskan adalah sekitar tahun 2010, zaman-zaman masih jadi mahasiswa lugu. Ketika itu aku baru saja menyelesaikan shalat Dzuhur di Masjid Ibnu Sina ketika seseorang mendekatiku dan menceritakan tentang anaknya yang tengah sakit keras. Dia butuh uang untuk biaya pengobatan anaknya, katanya. Jadi ya aku berikan sekedar selembar yang ada di sakuku waktu itu. 

Pernah juga seorang ibu-ibu mengetuk pintu kamar kosanku menjelang tengah malam. Dia diturunkan dari angkutan umum, katanya. Malam-malam, enggak bisa pulang, butuh uang. Waktu itupun aku masih mau membantu walau enggak banyak. 

Sampai akhirnya, aku tahu kalau kisah-kisah ketiban sial tadi hanya tipuan demi mendapatkan rupiah. Pasalnya, orang yang pertama kali menipuku di masjid Ibnu Sina tadi suatu kali bertemu lagi denganku, dan dia masih menceritakan kisah kemalangan yang persis sama. Di situ aku mulai curiga. 

Sepertinya ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemalangan. Ini agaknya masalah mata pencaharian. 

* * * 

Tunggu.

Bagiku menolak para penipu tadi bukan masalah sayang uang. Agamaku mengajarkan bahwa berbuat baik sudah dihitung dari niatnya. Jadi sekiranya aku memberikan sedikit rupiah dengan berniat berbuat baik pun, Insya Allah, akan dihitung sebagai suatu kebaikan. Masalah si peminta tadi menipu atau jujur, itu urusan dia dengan Allah. Bagiku, jauh lebih baik uang yang tidak banyak itu jadi tambahan timbangan amalku daripada berakhir hanya ditukar dengan sebungkus gorengan yang bertransformasi jadi segumpal feses esok harinya. 

Tapi, biar bagaimanapun, waspada adalah langkah yang jauh lebih baik. Inget Bang Napi, satu tokoh bertopeng setengah yang selalu muncul di salah satu program berita kriminal di salah satu televisi swasta itu? Jargonnya yang terkenal adalah

"Ingat, kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah!"


Tindakan meminta-minta uang dengan menggunakan kisah-kisah fiksi mengenai kemalangan dan kesialan yang menimpa mereka adalah satu tindak penipuan yang (entah ada undang-undangnya atau enggak, tapi harusnya sih) melanggar hukum. Minimal, secara etis bukan sesuatu yang pantas dilakukan, memanfaatkan rasa belas kasihan orang lain untuk mengeruk keuntungan. Tapi ah, jangankan perkara etika, perkara hukum legal yang memiliki hukuman langsung saja aku ragu kalau mereka peduli. Paling mereka tidak ambil pusing dengan etika, apalagi agama. 

Jadi ya...aku memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam mendonasikan sebagian uangku. Aku sama sekali tidak ingin memberikan secuilpun kesempatan untuk para aktor-aktris murahan merangkap kriminal ini. Kalaupun ingin menyumbang, lebih baik aku mendonasikan ke lembaga-lembaga yang lebih jelas pertanggungjawaban keuangannya: uang saya dipakai apa, larinya ke mana.  

* * *  

Suatu kali, ketika aku hendak shalat 'Ashr di masjid Al-Huda Jatinangor sehabis sebuah perjalanan, aku mendapati seorang lelaki yang duduk di ambang pintu masuk masjid dengan wajah ditekuk. Di dekatnya, seorang anak perempuan nampak bermain dengan riang, kontras dengan kesedihan yang tampak di wajah bapaknya. 

"Mas, mau pengajian ya?" tanyanya. Kebetulan saat itu akan ada kajian dari ikhwan Salafi.

"Enggak. Mau shalat," jawabku. 

"Mas, mau nggak beli HP saya?" tanyanya. Iapun menyebutkan sebuah nominal. 

Kemudian dia menceritakan bahwa tas dan barang-barangnya dicuri ketika sedang beristirahat di SPBU. Kini bensin di motornya habis, ditambah lagi oli di motornya yang bocor. Tanpa uang sepeserpun untuk pulang kembali ke sebuah daerah di perbatasan Purworejo - Magelang, ia sekarang menawarkan untuk menjual telepon genggamnya demi sedikit rupiah untuk kembali ke rumah.

"Tapi aku enggak butuh HP mas. Gimana dong?" kataku dengan bahasa Jawa ngoko dialek Jogja. Setelah tahu aku orang Tegal dan bisa berbahasa Jawa, dia mengajakku berbicara dengan bahasa tersebut. Wajahnya semakin murung begitu tahu aku tak bisa memenuhi hajatnya.

Masa iya aku mesti beli barang yang aku enggak butuh?   

Ia bercerita bahwa dari tadi dia sudah berusaha meminta bantuan orang-orang. Bukan untuk meminta uang, hanya meminjam rekening supaya saudaranya di kampung bisa mengiriminya uang lewat rekening tersebut. Sama sekali tidak ada yang mau membantu. 

Akupun bercerita bahwa di daerah Jatinangor banyak penipuan dengan modus terkena musibah dan minta bantuan. Makanya mungkin sekarang banyak orang jadi lebih waspada. 

"Harusnya mas tunjukin surat keterangan yang dari polisi itu," kataku. Sesaat sebelumnya ia memang menunjukkan padaku selembar surat keterangan dari polisi bahwa dia telah menjadi korban pencurian. Suratnya sih asli. 

Dalam hati, aku sebenarnya ingin sekali membantu si mas-mas pahmud (papah muda) itu, apalagi dia bawa anak perempuan kecil. Tapi ya gimana lagi, pengalaman ketemu para pengemis penipu membuat aku lebih waspada, sekalipun banyak bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa dia bener-bener ibnu sabil, orang yang kehabisan bekal perjalanan.  

Enaknya bantuin gak ya?

Tuh 'kan, selain menipu, para pengemis dramatis tadi juga bikin aku jadi mikir seribu kali sebelum bantuin orang, takut kalo si mas itu juga bagian dari komplotan mereka. 

Mudah-mudahan pemerintah kecamatan Jatinangor atau kabupaten Sumedang punya semacam Dinas Sosial yang bisa menertibkan para pengemis yang meminta uang dengan cara berpura-pura kena musibah ini. 

Abisnya ngeselin, pertama bilangnya mau murtad, trus patah kaki, terakhir malah jadi anaknya yang geger otak. 

WTF man?!  
Senin, 21 Desember 2015 0 komentar

Mengosongkan Gelas

Saya tak ingat kapan persisnya mendengar pertama kali tentang analogi gelas ini. Ah, kalo enggak salah suatu sore di Al-Mushlih Center FIB, dalam sebuah halaqah. Di sana dipaparkan sebuah analogi benak manusia layaknya sebuah gelas. Kadangkala, kata si pembicara, ianya perlu dikosongkan sebelum dapat diisi dengan cairan yang lain. Begitupun dengan benak manusia, terkadang ia harus dikosongkan terlebih dahulu sebelum dapat dimasuki oleh ilmu-ilmu. Dikosongkan dari prasangka, ego, rasa sok tau, dll.

* * *
Di lain kesempatan, saya tengah membaca sebuah artikel tulisan Mohamed Ghilan, seorang Muslim Kanada, doktor bidang Neurosains. Di dalam tulisannya tersebut, brother Ghilan membahas tentang attitude negatif banyak orang, baik dari kalangan Muslim dan Non-Muslim, terhadap Saudi Arabia, khususnya dalam menyikapi berita-berita online tentang Saudi Arabia.

Menariknya, dalam artikel tersebut brother Ghilan menyinggung tentang suatu fenomena psikologis yang disebut negativity bias, yaitu kecenderungan manusia untuk lebih mengingat hal-hal negatif yang terjadi di sekitar mereka, kemudian dijadikan standar dalam menilai perkara-perkara lainnya. Dalam konteks artikel tersebut, banyak orang lebih mudah mengingat berita-berita negatif mengenai Saudi Arabia, dan kemudian ketika muncul kembali berita lain tentangnya, orang cenderung mengingat-ingat kembai citra negatif yang sudah kadung tercetak alih-alih menilai secara obyektif. 

Di dalam artikel tersebut dipaparkan bahwa negativity bias bermula sejak zaman manusia ada di zaman meramu dan berburu. Disebabkan karena perlunya kehati-hatian dalam menghadapi hewan pemangsa, manusia mengembangkan naluri kewaspadaan dengan mengingat-ingat kembali kejadian-kejadian tidak menyenangkan supaya tidak terulang. Maka berkembanglah ia menjadi sebuah cara berfikir. 

* * *

Jelang akhir tahun seperti sekarang ini merupakan waktu yang paling pas buat merenung, terutama merenungi kejadian-kejadian yang terjadi selama setahun kebelakang. 

Salah satu yang saya renungi dari kehidupan selama setahun kebelakang adalah banyaknya kesempatan yang saya lewatkan hanya karena saya menumbuhkan insekuritas, rasa tidak aman yang saya kembangkan dari negativity bias akibat pengalaman dan trauma-trauma masa lalu. 

"Duh, nanti kalo ini begini, itu begitu kejadian lagi kayak dulu gimana ya?"

"Takut kalo kejadian itu terulang lagi. Enggak mau ah."

Sayangnya, negativity bias saya cukup sering juga salah sasaran, dipakai untuk memberikan penilaian yang tidak semestinya kepada orang lain semata-mata karena kewaspadaan yang berlebihan. Ini juga yang membuat saya tidak begitu pandai dalam bergaul dengan orang lain. Kadang-kadang kesan pertama saya ketika bertemu dengan orang baru adalah dengan menganggap mereka ancaman.

Bagi saya, ketika pengalaman tidak mengenakkan yang melibatkan orang lain terjadi, lebih mudah bagi saya untuk memaafkan daripada untuk benar-benar melupakan. Selalu ada pelajaran berharga yang bisa diambil yang tidak boleh begitu saja kita hapus dalam ingatan. Parahnya, ingatan yang terlalu dipertahankan ini terkadang justru bermetamorfosis jadi su'udzhan yang berlebihan.

Jadi, yah...kalo ngomongin masalah resolusi dan target-target tahun baru, mungkin salah satu resolusi yang harus saya jalankan adalah untuk mengosongkan gelas, dalam artian saya harus benar-benar forgive and forget terhadap pengalaman-pengalaman masa lalu dan tidak membiarkan memori dan prasangka menghalangi saya untuk mengambil kesempatan-kesempatan yang terbentang di depan.

Bisa nggak ya? Mudah-mudahan bisa. 

 
;