Senin, 21 Desember 2015

Mengosongkan Gelas

Saya tak ingat kapan persisnya mendengar pertama kali tentang analogi gelas ini. Ah, kalo enggak salah suatu sore di Al-Mushlih Center FIB, dalam sebuah halaqah. Di sana dipaparkan sebuah analogi benak manusia layaknya sebuah gelas. Kadangkala, kata si pembicara, ianya perlu dikosongkan sebelum dapat diisi dengan cairan yang lain. Begitupun dengan benak manusia, terkadang ia harus dikosongkan terlebih dahulu sebelum dapat dimasuki oleh ilmu-ilmu. Dikosongkan dari prasangka, ego, rasa sok tau, dll.

* * *
Di lain kesempatan, saya tengah membaca sebuah artikel tulisan Mohamed Ghilan, seorang Muslim Kanada, doktor bidang Neurosains. Di dalam tulisannya tersebut, brother Ghilan membahas tentang attitude negatif banyak orang, baik dari kalangan Muslim dan Non-Muslim, terhadap Saudi Arabia, khususnya dalam menyikapi berita-berita online tentang Saudi Arabia.

Menariknya, dalam artikel tersebut brother Ghilan menyinggung tentang suatu fenomena psikologis yang disebut negativity bias, yaitu kecenderungan manusia untuk lebih mengingat hal-hal negatif yang terjadi di sekitar mereka, kemudian dijadikan standar dalam menilai perkara-perkara lainnya. Dalam konteks artikel tersebut, banyak orang lebih mudah mengingat berita-berita negatif mengenai Saudi Arabia, dan kemudian ketika muncul kembali berita lain tentangnya, orang cenderung mengingat-ingat kembai citra negatif yang sudah kadung tercetak alih-alih menilai secara obyektif. 

Di dalam artikel tersebut dipaparkan bahwa negativity bias bermula sejak zaman manusia ada di zaman meramu dan berburu. Disebabkan karena perlunya kehati-hatian dalam menghadapi hewan pemangsa, manusia mengembangkan naluri kewaspadaan dengan mengingat-ingat kembali kejadian-kejadian tidak menyenangkan supaya tidak terulang. Maka berkembanglah ia menjadi sebuah cara berfikir. 

* * *

Jelang akhir tahun seperti sekarang ini merupakan waktu yang paling pas buat merenung, terutama merenungi kejadian-kejadian yang terjadi selama setahun kebelakang. 

Salah satu yang saya renungi dari kehidupan selama setahun kebelakang adalah banyaknya kesempatan yang saya lewatkan hanya karena saya menumbuhkan insekuritas, rasa tidak aman yang saya kembangkan dari negativity bias akibat pengalaman dan trauma-trauma masa lalu. 

"Duh, nanti kalo ini begini, itu begitu kejadian lagi kayak dulu gimana ya?"

"Takut kalo kejadian itu terulang lagi. Enggak mau ah."

Sayangnya, negativity bias saya cukup sering juga salah sasaran, dipakai untuk memberikan penilaian yang tidak semestinya kepada orang lain semata-mata karena kewaspadaan yang berlebihan. Ini juga yang membuat saya tidak begitu pandai dalam bergaul dengan orang lain. Kadang-kadang kesan pertama saya ketika bertemu dengan orang baru adalah dengan menganggap mereka ancaman.

Bagi saya, ketika pengalaman tidak mengenakkan yang melibatkan orang lain terjadi, lebih mudah bagi saya untuk memaafkan daripada untuk benar-benar melupakan. Selalu ada pelajaran berharga yang bisa diambil yang tidak boleh begitu saja kita hapus dalam ingatan. Parahnya, ingatan yang terlalu dipertahankan ini terkadang justru bermetamorfosis jadi su'udzhan yang berlebihan.

Jadi, yah...kalo ngomongin masalah resolusi dan target-target tahun baru, mungkin salah satu resolusi yang harus saya jalankan adalah untuk mengosongkan gelas, dalam artian saya harus benar-benar forgive and forget terhadap pengalaman-pengalaman masa lalu dan tidak membiarkan memori dan prasangka menghalangi saya untuk mengambil kesempatan-kesempatan yang terbentang di depan.

Bisa nggak ya? Mudah-mudahan bisa. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;