Senin, 29 Februari 2016 0 komentar

Insiden (In)sensitif Ahad Pagi

Hari Minggu yang redup.

Bangunan itu terlihat sepi, sebuah warung kopi tempat aku berencana menghabiskan sarapanku pagi itu. Dua bangku panjang yang biasanya disesaki para pengunjung saat itu melompong, menyisakan banyak ruang kosong. Akupun masuk dan memesan makanan, lalu mengambil tempat di sudut dekat pintu masuk.

Dari speaker aktif yang dipasang di warung tersebut terdengar suara laki-laki sedang berceramah. Rupanya tengah diputar sebuah audio ceramah yang berformat conversion story, kisah pengalaman hidup seseorang yang dahulunya seorang Kristen kemudian masuk Islam. Volume speaker yang disetel keras-keras membuat ceramah yang tengah diputar itu mungkin bisa terdengar sampai luar.

Akupun memasang earphone di telinga, playlist di telepon genggamku tengah memainkan qasidah gubahan Rumi yang dinyanyikan oleh Sami Yusuf diiringi hentakan rebana dan petikan tanbour. Akupun mulai membaca buku kumpulan cerpen yang aku bawa untuk menemani aktifitas sarapan pagiku saat itu.

Aku tidak tertarik sama sekali dengan ceramah agama yang tengah diputar.

Bukannya aku tidak suka mendengarkan ceramah. Di komputer pribadiku pun tersimpan beberapa folder audio ceramah, dan setahuku akupun tidak pernah tidur tiap khotbah Jum'at. Akan tetapi, memang tidak pernah tertarik dengan ceramah berformat conversion story yang dituturkan orang-orang yang katanya para mantan pemuka agama tetangga. Dengan segala hormat, berbeda dengan kisah masuk Islamnya para abang-abang bule yang biasanya sarat renungan eksistensial mengenail tujuan hidup manusia, kisah masuk Islamnya para mantan pemuka agama yang banyak beredar di Indonesia rata-rata hanya berisi cercaan-cercaan terhadap agama yang dulu dianutnya.

Bahasa gaulnya, jelek-jelekin mantan, dalam hal ini mantan agamanya. Begitupun dengan ceramah yang saat itu tengah diputar, sang lelaki yang tak terlihat wajahnya itu tengah memaparkan borok-borok yang ada di agama lamanya.

Sebagai pemeluk agama, aku juga percaya pada salvific exclusivity yang ada di agamaku, yaitu keyakinan bahwa yang aku peluk saat ini adalah jalan keselamatan satu-satunya. Meskipun, pada dasarnya selamat atau tidak selamat itu hak mutlak Tuhan untuk menentukan. Di sisi lain, aku juga percaya pada golden rule yang menyatakan bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan". Dalam hal ini, sebagai seorang Muslim yang ingin dihormati sensitifitasnya, aku juga cenderung untuk menjaga sensitifitas pemeluk agama lain.

Maka aku tidak sepakat kalau harus memutar audio conversion story dengan konten provokatif di area publik, keras-keras pula.

Mie goreng telur di mangkokku sudah habis setengahnya, dan uap yang tadinya mengepul dari gelas kopiku sudah tinggal segaris tipis ketika serombongan orang memasuki warkop. Suasana yang tadinya lengang jadi penuh sesak setelah sepasang suami istri dan dua anaknya, seorang wanita sepuh, serta dua orang lelaki menyerbu masuk. Mereka memenuhi ruang-ruang kosong dua bangku panjang itu.

Sekilas aku melihat raut ketidaknyamanan di wajah si ibu muda itu, kenapa ya?

Beberapa saat kemudian aku menemukan jawabannya: sang wanita sepuh terlihat mengenakan sebentuk rosario, untaian manik-manik yang diujungnya terdapat bandul salib kecil yang di atasnya terdapat ukiran seorang lelaki yang diyakini sebagian orang sebagai Yesus.

Aku menelan ludahku yang mendadak terasa kecut. Mereka orang-orang Kristen.

Di tengah jeda senandung-senandung qasidah yang memenuhi rongga telingaku, aku memperhatikan bahwa ceramah tersebut kini berhenti, dan untungnya tidak terjadi keributan atau semacamnya. Mereka menikmati sarapan mereka sambil mengobrol dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Hentakan rebana, petikan tanbour dan santur, maupun tiupan nay yang menggetarkan rongga telingaku tak bisa menghempas segulung perasaan yang menyelimutiku saat itu. Sebuah perasaan yang mungkin kurang tepat juga jika dipadankatakan dengan "canggung":

Awkward.      

Ah, aku harap ketidaknyamanan itu tidak mengendap dan berubah menjadi prasangka, dan semoga kita bisa belajar untuk saling menjaga sensitifitas.
Selasa, 02 Februari 2016 0 komentar

Sekelumit Refleksi tentang Hijrah

Siang itu, aula gedung B tidak seramai biasanya. Ruang ini biasa digunakan untuk kuliah-kuliah umum lintas kelas, bahkan lintas program studi. Jika sedang mencapai titik puncaknya, ruang itu bisa disesaki ratusan mahasiswa yang menimbulkan dengungan riuh rendah yang ditimbulkan beragam aktifitas: ada yang duduk bergerombol sambil ngerumpi dengan geng-nya, ada yang menyumpal lubang telinganya dengan earphone, ada yang tengah sibuk mengerjakan tugas untuk mata kuliah selanjutnya, dan biasanya masih ada juga yang betul-betul menyimak penjelasan dosen dengan seksama.

Tetapi siang itu, keramaian yang biasa menghangatkan ruangan besar ini seolah diredam. Mungkin karena penghuninya yang tidak sebanyak biasanya, mata kuliah yang menarik, atau mahasiswa-mahasiswa yang memilih bersikap hormat (untuk tidak mengatakan kasihan) kepada dosen senior yang tengah menerangkan materi hari itu dan memutuskan untuk tidak membebani sarafnya dengan kemarahan yang disebabkan oleh mahasiswa-mahasiswa miskin etika yang tidak memperhatikan.

“Pelan-pelan aja ‘kan ya Ul?” tanya sosok berkerudung biru muda yang duduk beberapa kursi di sampingku. Suaranya hanya satu atau dua tingkat lebih keras dari bisikan, tapi aku bisa merasakan kegamangan yang mencekat jalan nafas di tenggorokannya. Kepalanya dan sorot pandangnya tertunduk menghujam bumi ketika aku menoleh ke sumber suara.

Gadis di sampingku ini tengah dilanda kebingungan. Pasalnya, salah satu sahabatnya memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota organisasi keislaman di kampus, dan sang sahabat mengajaknya untuk ikut serta. Ia mengiyakan walau dengan berat hati, agaknya. Menurut kisahnya padaku, ia belum siap jika kemudian harus berubah gaya hidupnya secara drastis. Ia tak sepenuhnya siap untuk berhijrah, dan menganggapnya sebagai langkah yang terlalu besar dan berat.

Ketakutan yang agak aneh dan tak berdasar, menurutku. Gadis itu aku kenal sebagai seorang Muslimah yang, setahuku sih, menjalankan agamanya. Tiap hari ia, berpakaian yang menutup kepala sampai kaki, dan hanya menyisakan wajah dan telapak tangannya yang terlihat: kombinasi kerudung, kemeja lengan panjang, dan rok panjang yang selalu ia pakai tiap kuliah. Secara tampilan luar, ia mungkin kompatibel dengan julukan akhwat (menurut pengertian yang politically correct tentunya, bukan seperti pengertian yang terdapat pada label WC Akhwat di masjid-masjid) yang populer di kalangan dakwah kampus. Menurutku sih, ia akan dengan mudah di terima di organisasi dakwah di kampusku sebagai one of them.

Tapi toh rasa tidak layak tetap jauh lebih baik daripada rasa self-righteous, tinggi hati yang timbul dari rasa lebih baik dari orang lain. Bukankah ini yang akhirnya menjebloskan Iblis hingga ia dan keturunannya dikutuk oleh orang beriman hingga akhir zaman? Setidaknya sosok di sampingku ini tahu bahwa, secara manusiawi, ia punya salah dan dosa yang mungkin masih membebaninya untuk berhijrah.

Jadi, setelah sejenak berpikir dan menghela nafas, akupun menjawab dengan suara tak kalah perlahan.

“Iya, pelan-pelan aja.”

* * * 

Hijrah

Secara tradisional, kata ini merujuk kepada peristiwa emigrasi sejumlah besar pengikut Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib demi menghindari penindasan Quraisy. Emigrasi besar-besaran ini menjadikan Yatsrib sebagai pusat konsolidasi dan ibukota negara Islam sampai masa empat khalifah awal, serta melahirkan dua kelas sosial yang terdapat pada komunitas Muslim saat itu: Muhajirin, yaitu orang-orang Quraisy yang beremigrasi dari Makkah; serta Anshar, yaitu penduduk Yatsrib yang membantu serta menerima para emigran Makkah dengan tangan terbuka. Peristiwa ini juga menjadi penanda awal tahun Hijriah atau Anno Hegirae, penanggalan Islam yang didasarkan pada peredaran bulan.

Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Menurut KBBI, kata “hijrah” bermakna 1 n perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah; 2 v berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya);

Hijrah dalam konteks tulisan ini adalah proses keberagamaan di mana seseorang yang tadinya tak begitu saleh memutuskan untuk menjalani kehidupan yang lebih relijius, biasanya disertai juga dengan meninggalkan kehidupan dan lingkungan lamanya yang tidak kondusif untuk perkembangan spiritualnya. Dalam hal ini perpindahan yang terkandung dalam sense kata “hijrah” dimaknai secara metaforis sebagai perpindahan dari fase kehidupan yang tidak begitu Islami menjadi kehidupan yang lebih relijius serta berupaya agar lebih dekat kepada Tuhan. Fenomena ini cukup marak terjadi pada beberapa artis dan selebritis Indonesia, misalnya almarhum Gito Rollies, Sakti Sheila On 7 (yang belakangan berganti nama menjadi Salman Al-Jugjawy) atau Noor “Ucay” Al-Kautsar, mantan personil Rocket Rockers.

Hijrah juga menjadi tema sentral dari beberapa karya seni Islami yang beredar di Indonesia. Masih ingat film dan serial TV Kiamat Sudah Dekat? Film ini mengisahkan perjalanan spiritual Fandy, vokalis band Dongkoll yang memutuskan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih rajin beribadah setelah bertemu dan jatuh cinta dengan Sarah, puteri Haji Romli. Novelet laris Ketika Mas Gagah Pergi tulisan Helvy Tiana Rosa juga mengangkat tema yang sama: perjalanan spiritual Gagah, seorang lelaki muda yang berubah menjadi lebih alim, dan konfliknya dengan Gita sang adik perempuan. Pun, jika kita membaca serial Elang karya Afifah Afra, kita akan mendapati denyut-denyut nadi yang senada: seorang pemuda yang tadinya acuh soal agama, tiba-tiba menjelma menjadi sosok seperti dalam lirik lagu pembuka serial Si Doel Anak Sekolahan, yang kerjaannye sembayang mengaji.

* * *

Jujur, tadinya aku iri juga rasanya dengan mereka-mereka yang menjalani proses perpindahan metaforis ini. Aku sendiri dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, dan sejak kecil pun aku dididik untuk menjadi sedemikian. Sejak Taman Kanak-kanak aku disekolahkan di sekolah Islam, dan satu-satunya pendidikan dasar dan menengah non-relijius yang pernah aku alami hanya saat Sekolah Menengah Pertama. Begitupun ketika kuliah, organisasi satu-satunya yang menjadi tempatku pernah terdaftar menjadi anggota adalah organisasi masjid fakultas. Pendeknya, segala hal yang berbau relijius sama sekali bukan hal yang asing buatku.

Tunggu, aku sama sekali tak bermaksud untuk tidak bersyukur. Tidak, aku bukannya sedang tidak berterima kasih terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga dan lingkunganku dalam upaya menjadikanku pribadi Muslim yang baik. Itu semua mereka lakukan agar hidupku terarah mengikut garis panduan yang diturunkan Tuhan kepada Rasul terakhirNya, dan aku bersyukur atas itu semua. Hanya saja, semakin bertambahnya usia aku semakin belajar bahwa pengalaman relijius adalah pengalaman yang sifatnya personal. Ianya tidak seperti percobaan sains yang bisa direplikasi untuk memperoleh hasil yang sama. Masing-masing kita menempuh jalan spiritual kita sendiri-sendiri.

Bukankah hati tiap manusia itu unik? Tiap anak Adam adalah satu jenis dirinya sendiri, dan tidak ada dirinya yang lain. Konsekuensinya, pengalaman keagamaan sebagai pengalaman yang intens dan sangat melibatkan hati dan rasa, menurutku sih, juga sangat personal dan unik sifatnya. Jadi, sebenarnya yang aku rindukan hanya pengalaman spiritual yang orisinil, genuine, serta organik. Pasalnya, aku merasa bahwa yang selama ini aku lakukan hanya mengikuti langkah-langkah orang lain, atau menuruti perintah orang-orang lain. Intinya, aku merasa bahwa, dalam beberapa titik, aktifitas relijius yang aku lakukan seolah menjadi hanya taken for granted. Sering tidak ada getaran-getaran hati di dalamnya.

Kadang-kadang bertanya-tanya juga: bagaimana sih rasanya melakukan ibadah seperti yang dirasakan oleh orang-orang yang tadinya berjarak dengan Tuhan, kemudian kembali melaksanakan ruku' dan sujud seolah-olah untuk pertama kalinya?

Tapi kemudian aku tersadar bahwa aku toh tidak sesaleh yang aku kira. Bukankah dalam perjalanan spiritualnya, jalan yang ditempuh seorang hamba sering tidak mulus dan lempeng begitu saja? Sering ada sandungan, naik, bahkan turun ("menjadi Futur adalah hal yang tidak terhindarkan" kata ustadzah Yasmin Mogahed) ketika hati lebih condong kepada kemaksiatan. Aku toh tidak lebih sempurna dari mereka-mereka yang dulunya jauh dari Tuhan. Sebagai manusia, aku juga memiliki banyak hal yang masih perlu untuk diperbaiki. Aku juga masih sering malas-malasan ketika shalat, merasa berat dalam membaca Qur'an walau hanya selembar dua lembar, mata tak tertunduk yang menyasar ke mana-mana, perut yang di isi berdasar panduan nafsu, dll. 

Bukankah itu semua juga menjadi peluang bagiku untuk Hijrah, berpindah dari ketidaktaatan menuju upaya-upaya kesalehan dengan memperbaiki kesalahan-kesalahanku sebagai hamba yang sering lalai? Mungkin juga ini bisa menjadi perantara bagiku untuk menghadirkan kembali Tuhan dalam getaran-getaran hati, melalui perbaikan-perbaikan diri, taubat yang tak putus-putus, serta doa yang tak pernah berhenti terpanjatkan dalam kesadaranku sebagai manusia yang penuh salah. 

Ah, mungkin aku yang salah memaknainya. Mungkin Hijrah tidak melulu sebuah perubahan yang drastis dan overnight. Bisa jadi, ianya adalah sebuah proses perbaikan dan penyucian diri yang berujung ketika Malaikat Maut mengetuk pintu kita. Mungkin juga, perbedaan dari aku dan seorang selebritis glamor yang tadinya tak pernah beribadah hanyalah masalah titik mula. Pada hakikatnya kita tengah menapaki jalan yang sama, berharap untuk dapat menatap wajah Tuhan yang sama. 

Allahu a'lam   


 
;