Hari Minggu yang redup.
Bangunan itu terlihat sepi, sebuah warung kopi tempat aku berencana menghabiskan sarapanku pagi itu. Dua bangku panjang yang biasanya disesaki para pengunjung saat itu melompong, menyisakan banyak ruang kosong. Akupun masuk dan memesan makanan, lalu mengambil tempat di sudut dekat pintu masuk.
Dari speaker aktif yang dipasang di warung tersebut terdengar suara laki-laki sedang berceramah. Rupanya tengah diputar sebuah audio ceramah yang berformat conversion story, kisah pengalaman hidup seseorang yang dahulunya seorang Kristen kemudian masuk Islam. Volume speaker yang disetel keras-keras membuat ceramah yang tengah diputar itu mungkin bisa terdengar sampai luar.
Akupun memasang earphone di telinga, playlist di telepon genggamku tengah memainkan qasidah gubahan Rumi yang dinyanyikan oleh Sami Yusuf diiringi hentakan rebana dan petikan tanbour. Akupun mulai membaca buku kumpulan cerpen yang aku bawa untuk menemani aktifitas sarapan pagiku saat itu.
Aku tidak tertarik sama sekali dengan ceramah agama yang tengah diputar.
Bukannya aku tidak suka mendengarkan ceramah. Di komputer pribadiku pun tersimpan beberapa folder audio ceramah, dan setahuku akupun tidak pernah tidur tiap khotbah Jum'at. Akan tetapi, memang tidak pernah tertarik dengan ceramah berformat conversion story yang dituturkan orang-orang yang katanya para mantan pemuka agama tetangga. Dengan segala hormat, berbeda dengan kisah masuk Islamnya para abang-abang bule yang biasanya sarat renungan eksistensial mengenail tujuan hidup manusia, kisah masuk Islamnya para mantan pemuka agama yang banyak beredar di Indonesia rata-rata hanya berisi cercaan-cercaan terhadap agama yang dulu dianutnya.
Bahasa gaulnya, jelek-jelekin mantan, dalam hal ini mantan agamanya. Begitupun dengan ceramah yang saat itu tengah diputar, sang lelaki yang tak terlihat wajahnya itu tengah memaparkan borok-borok yang ada di agama lamanya.
Sebagai pemeluk agama, aku juga percaya pada salvific exclusivity yang ada di agamaku, yaitu keyakinan bahwa yang aku peluk saat ini adalah jalan keselamatan satu-satunya. Meskipun, pada dasarnya selamat atau tidak selamat itu hak mutlak Tuhan untuk menentukan. Di sisi lain, aku juga percaya pada golden rule yang menyatakan bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan". Dalam hal ini, sebagai seorang Muslim yang ingin dihormati sensitifitasnya, aku juga cenderung untuk menjaga sensitifitas pemeluk agama lain.
Maka aku tidak sepakat kalau harus memutar audio conversion story dengan konten provokatif di area publik, keras-keras pula.
Mie goreng telur di mangkokku sudah habis setengahnya, dan uap yang tadinya mengepul dari gelas kopiku sudah tinggal segaris tipis ketika serombongan orang memasuki warkop. Suasana yang tadinya lengang jadi penuh sesak setelah sepasang suami istri dan dua anaknya, seorang wanita sepuh, serta dua orang lelaki menyerbu masuk. Mereka memenuhi ruang-ruang kosong dua bangku panjang itu.
Sekilas aku melihat raut ketidaknyamanan di wajah si ibu muda itu, kenapa ya?
Beberapa saat kemudian aku menemukan jawabannya: sang wanita sepuh terlihat mengenakan sebentuk rosario, untaian manik-manik yang diujungnya terdapat bandul salib kecil yang di atasnya terdapat ukiran seorang lelaki yang diyakini sebagian orang sebagai Yesus.
Aku menelan ludahku yang mendadak terasa kecut. Mereka orang-orang Kristen.
Di tengah jeda senandung-senandung qasidah yang memenuhi rongga telingaku, aku memperhatikan bahwa ceramah tersebut kini berhenti, dan untungnya tidak terjadi keributan atau semacamnya. Mereka menikmati sarapan mereka sambil mengobrol dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Hentakan rebana, petikan tanbour dan santur, maupun tiupan nay yang menggetarkan rongga telingaku tak bisa menghempas segulung perasaan yang menyelimutiku saat itu. Sebuah perasaan yang mungkin kurang tepat juga jika dipadankatakan dengan "canggung":
Awkward.
Ah, aku harap ketidaknyamanan itu tidak mengendap dan berubah menjadi prasangka, dan semoga kita bisa belajar untuk saling menjaga sensitifitas.
Senin, 29 Februari 2016
Agama dan Spiritualitas,
Jatinangor,
Refleksi
Insiden (In)sensitif Ahad Pagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar