Senin, 19 Oktober 2015 0 komentar

Film 3: Ketika Distopia Merambah Film Indonesia

Jumat sore kemarin, mumpung habis gajian, tiba-tiba ada keinginan untuk sedikit nge-hedon dengan menonton film di bioskop dekat kosan. Dalam daftar film yang ditayangkan Bioskop 21 cabang Jatinangor Town Square hari itu bertengger beberapa film yang agaknya lumayan asyik untuk ditonton. Ada The Martian yang dibintangi Matt Damon, ada The Vatican Tapes yang ceritain tentang orang kesurupan (kayaknya), ada The Wedding and Bebek Betutu yang dibintangi pemain-pemain eks Extravaganza Trans TV.


Yang lumayan menarik perhatian adalah sebuah film berjudul 3. Tadinya agak skeptis karena track record sutradaranya yang sebelumnya menggarap film Coboy Junior dan Comic 8, dua film yang tema dan genre-nya sama sekali tidak  membuat saya tertarik. Ditambah lagi nama-nama karakternya yang dibikin seolah-olah Islami yang bikin saya berpikir:

"Halah, palingan ini film-film kayak yang sudah-sudah, yang ngejadiin relijiusitas sebagai barang dagangan." 

Cuman yang saya bikin agak tertarik adalah karena fakultas saya ngadain diskusi tentang film ini awal Oktober kemarin. Ditambah nama-nama pemeran utamanya yang lumayan kredibel (Agus Kuncoro, Abimana Aryasatya, dan Donny Alamsyah, misalnya), ditambah hadirnya kang Cecep Arief Rahman yang berperan sebagai The Assassin dalam The Raid 2: Berandal bikin saya tambah tertarik untuk nonton.

Seenggaknya, kalo ceritanya aneh, adegan laganya mudah-mudahan masih bisa dinikmatin, pikir saya. Maka, saya pun membeli tiket di baris kursi paling belakang Jumat sore itu. Sepi sih, tidak banyak yang nonton.

Ketika film dimulai, saya agak terhenyak: settingnya Jakarta tahun 2036 men! Setau saya, belum pernah ada satupun film Indonesia yang berani menampilkan latar Dystopian Future. Setting ini emang lagi marak di film-film Hollywood sono, The Hunger Games sama Divergent contohnya. Selain itu, setting budayanya juga rada unik plus absurd. Digambarkan saat itu Indonesia dipimpin oleh pemerintahan yang liberal tapi otoriter (?). Pasca huru-hara melawan kelompok-kelompok fundamentalis radikal, segala sesuatu yang berhubungan dengan agama secara ketat dilarang. Bahkan rumah-rumah ibadah dikonversi jadi gudang. Selain itu, teritorial Indonesia dibagi menjadi distrik-distrik, kayak di film The Hunger Games.

Tersebutlah ketiga orang anak manusia yang bersahabat sejak kecil: Alif, Lam (dari Herlam) dan Mim (dari Mimbo). Ketiganya adalah murid dari sebuah perguruan silat yang gurunya diperankan oleh kang Cecep Arif Rahman. Alif, yang orangtuanya dibunuh oleh kelompok radikal, memilih untuk menjadi aparat pemerintahan, detasemen khusus yang tugasnya menumpas para teroris, kriminal, dan pengacau. Lam memilih untuk berjuang lewat jalur jurnalistik demi mengungkap kebenaran. Sementara itu, Mim yang bercita-cita mati husnul khatimah lebih memilih untuk mengabdi di sebuah pesantren di Distrik 9.

Konflik film berpusar di antara ketiga tokoh utama ini. Pasca terjadinya sebuah pemboman di sebuah kafe, pemimpin pesantren tempat Mim mengabdi dijadikan tertuduh pelaku pemboman. Sementara detasemen Alif ditugaskan untuk meringkus dan menangkap sang kyai, Mim harus berhadapan dengan saudara seperguruannya sendiri demi melindungi kyainya. Idealisme Lam sebagai seorang jurnalis menuntutnya untuk mencari fakta-fakta di balik peristiwa itu, sekaligus mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara kedua sahabatnya.

Selanjutnya, tonton sendiri aja ya!

Oke, kali ini akan saya bahas plus minus dari film ini.

Dari segi tema, film ini bisa dibilang menyajikan sesuatu yang  unik. Entah ada hubungannya atau enggak, film ini diproduseri oleh Arie Untung, artis sekaligus aktifis #IndonesiaTanpaJIL, sedangkan bertindak sebagai sutradara adalah Anggy Umbara, sineas sekaligus DJ dari kelompok Purgatory, yang dulu pernah berada dalam kelompok Berandalan Puritan, yang digawangi oleh Thufail Al-Ghifari. Di film ini, liberalisme ditampilkan sebagai suatu ancaman yang menekan hak asasi warga negara untuk beragama. Bisa jadi, nilai-nilai #IndonesiaTanpaJIL juga ikut mewarnai film ini.

Film ini juga diwarnai banyak adegan laga yang lumayan seru. Aksi baku perkelahian pemain disajikan dengan menarik meskipun tidak secadas film The Raid atau Berandal. Selain itu, film ini banyak menggunakan teknik slow motion untuk menampilkan detail dari gerakan-gerakan baku hantamnya. Belum seseru The Matrix atau The One-nya Jet Li sih. Tapi rasanya gerakan slow motion di film ini agak overdosis sih, dan malah mengurangi keseruan adegan-adegan baku hantam. Beruntung, musik pengiring bernuansa metal yang dibawakan oleh Purgatory cukup buat menambah bumbu kegaharan yang berkurang gara-gara kebanyakan slow motion

Ide sekuler vs. relijius di film ini serasa tidak lengkap karena hanya menampilkan pihak Islam saja. Padahal, di Indonesia ini ada bermacam-macam agama dan kepercayaan. Oke, mungkin karena Islam di sini juga dijadikan pihak yang dikambinghitamkan. Still, kayaknya kurang representatif kalo cuman satu agama yang ditampilkan. Padahal, agama apapun juga  memiliki komunitas-komunitas radikal yang bisa juga ditampilkan sebagai titik tolak dari premis utama film ini.

Untuk menyebut film ini film Islami, kayaknya rada masygul juga. Standar seberapa Islami sebuah film mungkin bisa berbeda-beda tiap penonton. Mungkin ada yang menganggap film Kingdom of Heaven-nya Ridley Scott sebagai film Islami karena menampilkan Salahuddin Al-Ayyubi dan orang-orang Muslim dalam pencahayaan yang positif. Di sisi lain, ada juga yang menganggap serial biopic Umar ibn Khattab yang dirilis MBC beberapa tahun lalu kurang Islami karena menampilkan sosok sahabat-sahabat Nabi, dan potongan-potongan dialog seperti "Demi Latta dan Uzza!"

That being said, adegan-adegan dalam film ini mungkin tidak bisa dibilang sepenuhnya Islami. Di sisi lain memang ada kesulitan tersendiri untuk membuat sebuah karya berbentuk film yang sepenuhnya sharia-compliant. Dari mulai tata busana, dialog, interaksi antar pemain lawan jenis, musik, dll. semuanya mesti masuk pertimbangan. Tapi film ini secara pesan memang kental bersumber dari naratif-naratif Islam, dan menjadikan relijiusitas komunitas Muslim sebagai salah satu tema besar yang diusung. Jadi, film ini bisa dikategorikan Islami atau tidak, it depends.

Pada akhirnya saya cukup sumringah karena akhirnya film Indonesia berhasil memunculkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, termasuk berani meng-handle tema-tema dan gaya naratif yang unik.

Syabas!
Sabtu, 10 Oktober 2015 0 komentar

Dua Angka Sepuluh

Ah, bulan Oktober. Tiba-tiba teringat dia lagi, yang setiap tahunnya aku kirimi ucapan selamat ulang tahun lewat getaran sinyal tak kasat mata. Tak ada balasan, biasanya. Hanya seutas senyum tertunduk malu-malu dengan gumaman "terima kasih" esok paginya.

Melepaskan memang tak mudah, tetapi melupakan agaknya lebih susah. Biasanya sub-consciousku menghadirkan imajinya lagi dalam lelap malam. Tapi malam ini, ingatan tentangnya masuk begitu saja di benakku tanpa salam.
Setengah benakku masih meratap, bukan atas kehilangan, tetapi atas tiadanya ketegasan. Secabik keberanian untuk sekedar menyepi sebelum benih itu tumbuh menjadi jerat, sebelum semuanya menjadi serba terlambat.

Terlambat.
Hingga akhirnya keping domino pertama jatuh. Kedua, ketiga, kejatuhan yang susul-menyusul satu sama lain tanpa jeda, tanpa interval.
Setengah benakku yang lain sudah terengah-engah, terlalu lelah untuk sekedar memasang wajah muram. Lebih memilih untuk menatapnya sebagai guratan Ilahiah pada Loh yang Terjaga. Mungkin memang harus begini jalannya. Apa lagi yang mau dikata?

Kangenkah ini? Semoga tidak. Semoga hanya gumpalan rasa terima kasih yang belum sempat terlisankan. Sebab, biar bagaimanapun ia memberiku segudang kebijaksanaan, selaksa pelajaran.


Biar bagaimanapun, ia pernah menjadi pelukis warna yang paling dominan.
Rabu, 07 Oktober 2015 0 komentar

Sepeda

Orang-orang yang berada di lingkup keluarga atau sahabat yang sudah membersamai saya sejak kecil mungkin masih ingat dan sudah mafhum tentang fakta kecil yang ada di kehidupan saya yang bisa dibilang agak lucu dan memalukan: saya tidak bisa naik sepeda sampai hampir kelas dua SMP.

Saya memang waktu kecil bisa dibilang pribadi yang penakut dan manja. Waktu dua roda kecil di sisi kanan dan kiri sepeda saya akhirnya dilepas ketika saya berusia 6 tahun, saya merasakan rasanya pertama kali jatuh dari sepeda karena berusaha menyetimbangkan. Sialnya, saat itu saya menangis dan menyerah. Dan saya terlalu pengecut untuk mencoba lagi dan lagi.

Walhasil, latihan mengendarai sepeda menjadi aktivitas yang saya benci ketika saya menginjak sekolah dasar. Bagi saya saat itu, latihan bersepeda hanya akan menjadi aktivitas sia-sia yang tidak menghasilkan apa-apa selain saya jatuh. Saya pun menghabiskan masa sekolah dasar tanpa tahu keasyikan yang diraskan teman-teman sebaya ketika menggoweskan kaki berangkat sekolah bersama-sama, ikut sepeda santai, atau sekedar bersepeda keliling lapangan sekolah.

Dan saat itu, saya pikir saya akan ‘dikutuk’ dengan tidak bisa mengendarai kendaraan roda 2 dan, sebelum punya mobil sendiri, akan bergantung pada kendaraan umum.

Alhamdulillah, meskipun saya sudah terlanjur pesimis dan jatuh mental, orangtua saya tidak pernah patah semangat memaksa anaknya yang penakut ini untuk belajar sepeda lagi dan lagi.



Sebidang tanah di sebelah utara Stasiun Tegal, tempat saya latihan naik sepeda

Hingga akhirnya saat liburan semester I ketika saya menginjak kelas 7 SMP, saya memutuskan untuk membuang rasa takut, malas, dan malu untuk belajar mengendarai sepeda.

Kali ini, untuk menghindari rasa malu gara-gara saya yang sudah sebesar itu belum bisa mengendarai sepeda, maka dicarilah tempat yang cukup luas untuk saya belajar sepeda, namun tidak menjadikan saya pusat perhatian banyak orang.

Maka ditemukanlah sebidang tanah cukup luas milik PT. KAI di dekat stasiun Tegal. Di tempat itu saya bertekad untuk mematahkan "kutukan" tidak bisa naik sepeda dan terus berusaha walaupun mesti merasakan sakitnya jatuh lagi, lagi, dan lagi.

Tiap pagi selama liburan saya menghabiskan waktu dengan mencoba menyetimbangkan tubuh dan mengayuh sepeda di tanah berpasir yang diapit rerumputan ini. Selain sakit karena jatuh, saya masih harus menahan rasa malu ketika harus menghadapi tatapan aneh dari orang-orang yang melewati daerah itu.

Alhamdulillah, kerja keras saya berbuah manis. Setelah kurang lebih satu minggu berlatih akhirnya saya bisa naik sepeda. Sisa satu minggu liburan saya gunakan untuk memperlancar dan berkenalan dengan jalan raya. Maka, mulai kelas 7 semester II saya pertama kalinya mengayuh sepeda ke sekolah.

Pada akhirnya, bersepeda malah menjadi olahraga yang saya gemari. Sebagai orang dengan koordinasi motorik-sensorik yang tidak begitu baik dan selalu bermasalah dalam olahraga permainan, bersepeda menjadi salah satu cara saya berolahraga yang mudah dan murah. Bahkan, hobi saya bersepada membuat saya memutuskan untuk membawa sepeda ke kota rantau pertama saya di Yogyakarta.



Tiga tahun merantau selama SMA, hanya sesekali saya membawa sepeda motor milik kakak saya ke sekolah. Saya sangat sering bersepeda ke sekolah sampai-sampai satpam SMA saya melontarkan pernyataan bernada prihatin sekaligus simpatik

“Le…le, kowe kok gelem-geleme telung taun ngepit. Koncomu kabeh podho nggowo motor kowe kok ngepit wae.”

(“Duh nak, kamu kok mau-maunya bersepeda ke sekolah selama tiga tahun. Teman-temanmu yang lain membawa sepeda motor ke sekolah, kamu naik sepeda aja.”)

Ungkapan prihatin tersebut hanya saya balas dengan senyum simpul. Bagi saya, sepeda saya menjadi simbol perjuangan pribadi saya untuk mencapai sesuatu yang sebelumnya saya anggap tak mungkin. Sepeda menjadi perwujudan atas firman Tuhan: “Allah tak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Saya tetap lebih menyukai sepeda, hatta setalah saya belajar memainkan gas dan gir.

* * *

Beberapa hari yang lalu, saya kembali melewati sebidang tanah tempat saya belajar sepeda ketika sedang jalan-jalan pagi. Saya pun menyempatkan untuk mengambil sepotong nostalgia dan mengenang perjuangan saya di sana, dan menuliskan kisahnya di Tumblr ini.

Pelajaran yang terbesar yang saya ambil adalah bahwa hidup ini memang tidak dirancang untuk menjadi mudah dan manis. Jatuh, gagal, sakit dan patah hati adalah sesuatu yang niscaya. Namanya berusaha, pasti ujungnya hanya ada dua kemungkinan: berhasil atau gagal.

50:50

Maka menghindari kegagalan dengan cara menghindari berusaha, adalah kegagalan yang tak terelakkan. Contohnya begini, ketika dulu saya menghindari belajar sepeda karena takut jatuh dan gagal maka hasilnya saya tidak bisa naik sepeda selama beberapa tahun, which is also a failure. Jadi ya, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah kita harus menghadapi resiko dan berani gagal, berani jatuh, dan berani sakit. Now that’s a life lesson.

Konsekuensi logisnya adalah, penghalang terbesar yang menghalangi kita dari keberhasilan yang ingin kita capai adalah diri kita sendiri. Seringkali kita menyerah pada keadaan, sedangkan keadaan seringkali berada di luar kendali kita. Kita hanya punya kontrol atas diri kita sendiri. Betapapun sulitnya keadaan, kita harus tetap berusaha terus bergerak maju dan berusaha untuk tetap setimbang layaknya naik sepeda.

(Tulisan ini ditulis sekitar Juni tahun 2014)
 
;