Rabu, 07 Oktober 2015

Sepeda

Orang-orang yang berada di lingkup keluarga atau sahabat yang sudah membersamai saya sejak kecil mungkin masih ingat dan sudah mafhum tentang fakta kecil yang ada di kehidupan saya yang bisa dibilang agak lucu dan memalukan: saya tidak bisa naik sepeda sampai hampir kelas dua SMP.

Saya memang waktu kecil bisa dibilang pribadi yang penakut dan manja. Waktu dua roda kecil di sisi kanan dan kiri sepeda saya akhirnya dilepas ketika saya berusia 6 tahun, saya merasakan rasanya pertama kali jatuh dari sepeda karena berusaha menyetimbangkan. Sialnya, saat itu saya menangis dan menyerah. Dan saya terlalu pengecut untuk mencoba lagi dan lagi.

Walhasil, latihan mengendarai sepeda menjadi aktivitas yang saya benci ketika saya menginjak sekolah dasar. Bagi saya saat itu, latihan bersepeda hanya akan menjadi aktivitas sia-sia yang tidak menghasilkan apa-apa selain saya jatuh. Saya pun menghabiskan masa sekolah dasar tanpa tahu keasyikan yang diraskan teman-teman sebaya ketika menggoweskan kaki berangkat sekolah bersama-sama, ikut sepeda santai, atau sekedar bersepeda keliling lapangan sekolah.

Dan saat itu, saya pikir saya akan ‘dikutuk’ dengan tidak bisa mengendarai kendaraan roda 2 dan, sebelum punya mobil sendiri, akan bergantung pada kendaraan umum.

Alhamdulillah, meskipun saya sudah terlanjur pesimis dan jatuh mental, orangtua saya tidak pernah patah semangat memaksa anaknya yang penakut ini untuk belajar sepeda lagi dan lagi.



Sebidang tanah di sebelah utara Stasiun Tegal, tempat saya latihan naik sepeda

Hingga akhirnya saat liburan semester I ketika saya menginjak kelas 7 SMP, saya memutuskan untuk membuang rasa takut, malas, dan malu untuk belajar mengendarai sepeda.

Kali ini, untuk menghindari rasa malu gara-gara saya yang sudah sebesar itu belum bisa mengendarai sepeda, maka dicarilah tempat yang cukup luas untuk saya belajar sepeda, namun tidak menjadikan saya pusat perhatian banyak orang.

Maka ditemukanlah sebidang tanah cukup luas milik PT. KAI di dekat stasiun Tegal. Di tempat itu saya bertekad untuk mematahkan "kutukan" tidak bisa naik sepeda dan terus berusaha walaupun mesti merasakan sakitnya jatuh lagi, lagi, dan lagi.

Tiap pagi selama liburan saya menghabiskan waktu dengan mencoba menyetimbangkan tubuh dan mengayuh sepeda di tanah berpasir yang diapit rerumputan ini. Selain sakit karena jatuh, saya masih harus menahan rasa malu ketika harus menghadapi tatapan aneh dari orang-orang yang melewati daerah itu.

Alhamdulillah, kerja keras saya berbuah manis. Setelah kurang lebih satu minggu berlatih akhirnya saya bisa naik sepeda. Sisa satu minggu liburan saya gunakan untuk memperlancar dan berkenalan dengan jalan raya. Maka, mulai kelas 7 semester II saya pertama kalinya mengayuh sepeda ke sekolah.

Pada akhirnya, bersepeda malah menjadi olahraga yang saya gemari. Sebagai orang dengan koordinasi motorik-sensorik yang tidak begitu baik dan selalu bermasalah dalam olahraga permainan, bersepeda menjadi salah satu cara saya berolahraga yang mudah dan murah. Bahkan, hobi saya bersepada membuat saya memutuskan untuk membawa sepeda ke kota rantau pertama saya di Yogyakarta.



Tiga tahun merantau selama SMA, hanya sesekali saya membawa sepeda motor milik kakak saya ke sekolah. Saya sangat sering bersepeda ke sekolah sampai-sampai satpam SMA saya melontarkan pernyataan bernada prihatin sekaligus simpatik

“Le…le, kowe kok gelem-geleme telung taun ngepit. Koncomu kabeh podho nggowo motor kowe kok ngepit wae.”

(“Duh nak, kamu kok mau-maunya bersepeda ke sekolah selama tiga tahun. Teman-temanmu yang lain membawa sepeda motor ke sekolah, kamu naik sepeda aja.”)

Ungkapan prihatin tersebut hanya saya balas dengan senyum simpul. Bagi saya, sepeda saya menjadi simbol perjuangan pribadi saya untuk mencapai sesuatu yang sebelumnya saya anggap tak mungkin. Sepeda menjadi perwujudan atas firman Tuhan: “Allah tak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Saya tetap lebih menyukai sepeda, hatta setalah saya belajar memainkan gas dan gir.

* * *

Beberapa hari yang lalu, saya kembali melewati sebidang tanah tempat saya belajar sepeda ketika sedang jalan-jalan pagi. Saya pun menyempatkan untuk mengambil sepotong nostalgia dan mengenang perjuangan saya di sana, dan menuliskan kisahnya di Tumblr ini.

Pelajaran yang terbesar yang saya ambil adalah bahwa hidup ini memang tidak dirancang untuk menjadi mudah dan manis. Jatuh, gagal, sakit dan patah hati adalah sesuatu yang niscaya. Namanya berusaha, pasti ujungnya hanya ada dua kemungkinan: berhasil atau gagal.

50:50

Maka menghindari kegagalan dengan cara menghindari berusaha, adalah kegagalan yang tak terelakkan. Contohnya begini, ketika dulu saya menghindari belajar sepeda karena takut jatuh dan gagal maka hasilnya saya tidak bisa naik sepeda selama beberapa tahun, which is also a failure. Jadi ya, satu-satunya solusi yang masuk akal adalah kita harus menghadapi resiko dan berani gagal, berani jatuh, dan berani sakit. Now that’s a life lesson.

Konsekuensi logisnya adalah, penghalang terbesar yang menghalangi kita dari keberhasilan yang ingin kita capai adalah diri kita sendiri. Seringkali kita menyerah pada keadaan, sedangkan keadaan seringkali berada di luar kendali kita. Kita hanya punya kontrol atas diri kita sendiri. Betapapun sulitnya keadaan, kita harus tetap berusaha terus bergerak maju dan berusaha untuk tetap setimbang layaknya naik sepeda.

(Tulisan ini ditulis sekitar Juni tahun 2014)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;