Melepaskan memang tak mudah, tetapi melupakan agaknya lebih susah. Biasanya sub-consciousku menghadirkan imajinya lagi dalam lelap malam. Tapi malam ini, ingatan tentangnya masuk begitu saja di benakku tanpa salam.
Setengah benakku masih meratap, bukan atas kehilangan, tetapi atas tiadanya ketegasan. Secabik keberanian untuk sekedar menyepi sebelum benih itu tumbuh menjadi jerat, sebelum semuanya menjadi serba terlambat.
Terlambat.
Hingga akhirnya keping domino pertama jatuh. Kedua, ketiga, kejatuhan yang susul-menyusul satu sama lain tanpa jeda, tanpa interval.
Setengah benakku yang lain sudah terengah-engah, terlalu lelah untuk sekedar memasang wajah muram. Lebih memilih untuk menatapnya sebagai guratan Ilahiah pada Loh yang Terjaga. Mungkin memang harus begini jalannya. Apa lagi yang mau dikata?
Kangenkah ini? Semoga tidak. Semoga hanya gumpalan rasa terima kasih yang belum sempat terlisankan. Sebab, biar bagaimanapun ia memberiku segudang kebijaksanaan, selaksa pelajaran.
Biar bagaimanapun, ia pernah menjadi pelukis warna yang paling dominan.
Kangenkah ini? Semoga tidak. Semoga hanya gumpalan rasa terima kasih yang belum sempat terlisankan. Sebab, biar bagaimanapun ia memberiku segudang kebijaksanaan, selaksa pelajaran.
Biar bagaimanapun, ia pernah menjadi pelukis warna yang paling dominan.


0 komentar:
Posting Komentar