Handphone-ku hilang.
Jadi, hari Jumat kemarin, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan aku kembali Jumatan di masjid kampus. Biasanya sih aku Jumatan di masjid kampus ITB, yang memang lebih dekat dari kosanku, tapi hari itu aku memutuskan untuk Jumatan di kampus. Rencananya, sebelum dan sesudah Jumatan aku ingin menggarap silabus dan handbook TOEFL di taman kampus FISIP dan sekitar sekre BEM.
But things turned out differently.
Setelah Jumatan, aku memutuskan untuk membeli beberapa potong roti dan sebotol air mineral sebagai makan siangku sebelum pergi ke taman FISIP untuk mengetik. Warung tempat aku beli itu memang cukup sesak. Ruangannya tidak memungkinkan untuk melayani lebih dari lima orang, kurasa. Apalagi orang-orang dengan volume tubuh sepertiku.
Siang itu, keadaan warung pun cukup sesak. Ada beberapa orang yang tengah berbelanja ketika aku datang. Akupun masuk, mengambil sebotol air mineral dan dua potong roti, kemudian membayar kepada bapak pemilik warung. Ketika berlangsung transaksi, aku merasakan sesuatu di dalam tasku, seperti ada yang membuka zipper-nya, akupun menjulurkan tangan kebelakang untuk memeriksanya. Tapi saat itu kupikir tidak ada apa-apa. Lagipula, mana mungkin orang mau mencuri di tengah keramaian Gerbang Lama seperti itu?
Ketika aku sampai ke taman FISIP, dan bersiap membuka laptopku, handphone Andromax R2 warna hitam metalik itu tiba-tiba kusadari raib dari kantong tasku. Hilang begitu saja.
Praktis, sepanjang siang hingga sore itu, rencanaku untuk bekerja gagal total. Selain shock, aku juga disibukkan dengan melacak gawaiku melalui Google Device Manager. Nihil, siapapun yang berhasil memegang gawaiku pasti sudah mematikannya. Jejak GPS di Google Maps hanya berujung di warung tempat aku berbelanja tadi.
Andromax R2 yang aku beli dari hasil mengajar berminggu-minggu itu lenyap digasak pencuri.
* * *
Meskipun Jatinangor memiliki banyak hal yang patut disyukuri, dalam hal kriminalitas tempat ini bisa dibilang cukup ngeri. Handphone, dompet, hingga motor sering jadi sasaran empuk para maling.
Banyaknya mahasiswa di tempat ini menjadikan ia semacam tambang emas bagi para kriminal berotak jahat. Mereka tak segan-segan membobol kamar kosan, bahkan melakukan kekerasan demi merampas benda-benda berharga. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita berjaga-jaga agar tidak menjadi korban.
Berikut beberapa tips yang bisa dipraktekkan supaya kita tidak menjadi sasaran:
1. Biasakan kunci kamar kos ketika bepergian keluar.
Kosan sebagai tempat menyimpan barang-barang berharga sering jadi target utama. Karenanya, jangan pernah lupa mengunci kamar kosan ketika bepergian keluar, supaya tidak memberi peluang kepada para kriminal untuk beraksi. Jika ada pengaman tambahan seperti selot atau gerendel pintu, gunakanlah agar kemungkinan maling dapat membobol masuk jadi lebih kecil.
2. Jangan biasakan membuka jendela kamar ketika tidur atau istirahat siang.
Meskipun pintu kita sudah terkunci rapat, para penjahat tidak segan untuk mencoba membobol kamar dengan merogoh kunci melalui jendela yang terbuka lebar. Jika ingin membuka jendela untuk menyegarkan sirkulasi udara, pastikan kamu sedang di dalam, dan sedang dalam keadaan sadar sepenuhnya.
3. Parkirlah kendaraan di tempat yang disediakan, atau di area yang terdapat tukang parkir.
Beberapa tempat kos di Jatinangor memiliki posisi yang tidak strategis untuk kendaraan. Letaknya yang harus melewati gang-gang sempit membuat motor atau mobil tidak bisa masuk. Ini kadang membuat orang yang berkunjung memilih untuk memarkir kendaraannya di pinggir jalan Jatinangor. Hindari parkir sembarangan di pinggir jalan. Jika tidak memungkinkan untuk memarkir kendaraan di tempat yang mudah diawasi, parkirlah di tempat-tempat yang terdapat tukang parkir yang mengatur. Jangan lupa gunakan pengaman berlapis seperti kunci ganda, kunci dingdong, atau gembok ban.
4. Jika tidak ada yang bisa dititipi, bawa barang bawaan anda sendiri, awasi dengan hati-hati.
Adakalanya repot juga memang kalau harus bawa gendongan atau jinjungan ke mana-mana. Kadang kita butuh seseorang yang bisa dititipi barang ketika kita sedang butuh ke kamar mandi, misalnya. Kecuali kepada orang terdekat yang anda percayai, jangan gampang menitipkan barang berharga pada orang lain. Walau repot, tetap lebih aman membawanya sendiri walaupun orang yang anda titipi tidak berniat mencuri.
5. Jika anda pikir Masjid aman dari pencurian, pikir lagi.
Ironis memang, sebuah tempat di mana disebut dan dibacakan kalam Tuhan tetap tidak steril dari tindak pencurian. Memang begitu kenyataannya. Jika anda sedang shalat, taruh barang bawaan anda di tempat yang lagi-lagi gampang diawasi. Beberapa masjid menyediakan ruang di mihrab, di sebelah imam, sebagai tempat menyimpan barang bawaan. Beberapa yang lain menyediakan ruang antar shaf yang cukup lebar untuk sebuah ransel, jika demikian taruh ransel dalam posisi horizontal di depan batas sujud. Selain mudah diawasi, ransel juga dapat berfungsi sebagai sutrah. Jika tidak ada tempat di mihrab dan di sela-sela shaf, letakkan ransel atau bawaan dalam posisi vertikal di atas sajadah. Posisikan sedemikian rupa sehingga ketika sujud tubuh anda akan melingkupi barang bawaan tersebut, dan pastikan posisi barang bawaan tidak menyulitkan untuk duduk iftirosy atau tawarruk.
6. Ketika berada dalam situasi keramaian yang sesak, pegang barang berharga anda erat-erat, atau letakkan dalam posisi yang mudah dijangkau.
Ini yang harusnya aku lakukan kemarin, tapi yang sudah terjadi ya sudahlah. Intinya, ketika dalam posisi yang sangat crowded, pegang erat-erat barang berharga anda (dompet dan gawai, misalnya), atau taruh di tempat yang mudah dijangkau. Misal anda menggunakan ransel, gendong ransel tersebut di depan dada supaya lebih mudah dijangkau dan diawasi.
Secara teologis, apapun yang sudah terjadi pada diri kita hakikatnya sudah tercatat dalam takdir Tuhan, dan tidak ada seseorang atau sesuatu apapun yang dapat menghalangi jika kehendakNya sudah dititahkan. Namun, sebagai manusia tugas kita adalah berikhtiar, memilih cara-cara dan sarana supaya kita memperoleh takdir Tuhan yang terbaik.
Ketika sudah jadi korban, maka tugas kita adalah untuk bersabar. Jika dalam posisi belum menjadi korban (na'udzubillah), maka tugas kita adalah sebisa mungkin menghindar dan menjaga.
Stay safe.
Minggu, 25 Desember 2016
Jatinangor,
Personal,
Refleksi
0
komentar
Jatinangor's Crimes Know No Mercy
Entah kenapa, semakin bertambah usia, aku semakin meyakini bahwa di dunia sekarang ini agak sulit untuk menilai segala sesuatunya secara hitam putih. Secara normatif, tentu saja, hitam dan putih seringkali diposisikan dengan garis batas yang jelas dan terang, namun pada kenyataannya banyak fenomena-fenomena di dunia ini yang belang: ada hitamnya, ada pula putih yang tersapu di sana-sini.
Njelimet ya? baik, aku beri sedikit ilustrasi supaya ada titik terang.
Fenomena figur publik yang merokok, misalnya. Banyak orang setuju bahwa merokok adalah aktifitas yang mudharat. Selain asapnya yang menyimpan segunung bahaya kesehatan, aktifitas merokok bisa juga dipandang sebagai suatu pemborosan: membakar uang demi beberapa hisap nikotin yang meninggalkan jejak adiksi bagi para penikmatnya. Banyak pula orang setuju bahwa aktifitas ini tidak seharusnya ditiru, dan dilakukan oleh anak-anak di bawah umur.
Banyak dari kita setuju dengan poin-poin di atas.
Nah, di awal pemerintahan presiden yang baru menjabat dua tahun ini, salah satu kontroversi yang mencuat adalah dilantiknya seorang menteri perempuan yang punya sisi-sisi yang "anti-mainstream", selain rekam jejaknya yang membuat orang mungkin berdecak kagum, ada satu sisi yamg dipandang sebagai sebuah cela: sang menteri adalah perempuan yang merokok. Hebohlah media massa seantero negeri. Termasuk di antaranya komentar dari seorang ustadz termasyhur yang mengatakan bahwa sang menteri tidak cocok jadi teladan.
Seiring berjalannya waktu, sang menteri pun ternyata menunjukkan kebijakan-kebijakan yang direspon positif oleh publik. Ketegasannya dalam menghadapi para pencuri ikan di perairan Indonesia menjadi info hangat yang menghiasi corong-corong berita. Tato di kaki dan kebiasaan merokok tak lagi menjadi halangan untuk menghargai integritasnya.
Nah, dari sini aku belajar bahwa mungkin ada kebaikan-kebaikan yang memiliki bercak-bercak hitam dan cela, sebagaimana ada keburukan yang mungkin masih ada sedikit cercah-cercah kesucian di dalamnya. Sang menteri mungkin punya cacat di sana-sini, namun bukan berarti kita tak bisa menghargai hasil kerja beliau yang profesional, bukan berarti pula kita memposisikannya sebagai teladan yang kita tiru bulat-bulat segala tindak-tanduknya.
Bisa dibilang, sikapku tidak begini, tidak pula begitu. Ada ruang-ruang kompromi di sana-sini.
* * *
Akhir-akhir ini, perhatian publik Indonesia banyak tersedot pada event lima tahunan, yang terjadi di satu wilayah kecil namun gaungnya sampai nyaris ke seluruh negeri. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tengah menjadi bahan obrolan panas di sana-sini, dari diskusi-diskusi di layar televisi hingga obrolan-obrolan santai di warung kopi. Tidak terkecuali jagat maya seluruh negeri yang disesaki berbagai opini.
Indonesia, yang disebut oleh Al-Jazeera sebagai The Social Media Capital, punya publik yang sangat responsif terhadap gonjang-ganjing apapun yang terjadi di media sosial. Nggak terhitung banyaknya isu-isu yang beberapa kali membuat media sosial bergolak, mulai dari sang menteri yang aku sebut di atas sampai persoalan "4 dikali 6 atau 6 dikali 4". Fasilitas yang disediakan media sosial berupa ruang bebas untuk bersuara menyebabkan retorika dan opini yang muncul pun begitu beragam.
Nah, di tengah riuhnya pertukaran opini ini, sikapku pun tidak berubah. Seringkali aku menyetujui pendapat di satu sisi, namun tidak menyetujui pendapat di sisi lainnya karena bisa jadi pendapat yang aku setujui punya titik-titik retorika yang cacat, atau pendapat yang tidak aku sepakati punya nilai kebenaran di lihat dari sudut yang lain.
Namun sepertinya, bagi para partisan, agak sulit untuk memiliki ruang kompromi. Bagi mereka, mungkin, semua pihak yang berseberangan dengan apa atau siapa yang mereka perjuangkan harus dilihat secara total sebagai lawan atau musuh; tidak ada sedikitpun ruang untuk melihat kebaikan mereka.
Begitupun dengan para pihak yang menyuarakan kesetujuan terhadap opini-opini mereka, seringkali tidak ada ruang untuk melihatnya dalam kacamata yang lebih kritis. Tidak sedikit contoh di mana para partisan menyebarkan informasi yang mendukung cause mereka namun kemudian informasi tersebut terbukti hoax atau misinformasi. Sudah kepalang tersebar, nggak bisa ditarik lagi. Malu jadinya.
Mungkin tidak banyak juga yang berpikir sepertiku, bahwa bersikap hitam putih dalam hal dukung-mendukung dan menyikapi isu-isu politik bisa jadi bukan sikap yang tepat. Politik adalah masalah siasat, kadang-kadang siasat itupun mengharuskan para pelaku politik untuk bersikap fleksibel, untuk tidak mengatakan plin-plan. Kadang-kadang, ide atau ideologi yang membuat kita mendukung suatu sosok atau kelompok politik tertentu harus dibengkokkan demi mencapai kepentingan tertentu. Bahasa beratnya, pragmatis.
Makanya, menurutku sih nggak perlu ekstrim-ekstrim amat mendukung atau memusuhi pihak politik tertentu. Kata peribahasa itu, tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Mungkin terlalu simplistik, tapi bisa jadi ada benarnya. Kita nggak pernah tahu sampai kapan sosok atau kelompok yang kita dukung akan tetap dalam pendiriannya. Dan kita juga nggak tau sampai kapan sosok dan kelompok yang kita selisihi akan berdiri di atas sesuatu yang tidak kita sepakati. Sepanjang ada kepentingan, semua itu bisa saja berubah-ubah.
Apalagi kalo kita harus mengorbankan keakraban dengan kerabat dan sahabat hanya karena kurang fleksibel dalam hal dukung-mendukung figur politik.
Ah, sayang sekali. Dunia terlalu indah untuk sekadar dibikin ribut-ribut urusan pilkada.
Jangan gitu-gitu amat, ah.
Indonesia, yang disebut oleh Al-Jazeera sebagai The Social Media Capital, punya publik yang sangat responsif terhadap gonjang-ganjing apapun yang terjadi di media sosial. Nggak terhitung banyaknya isu-isu yang beberapa kali membuat media sosial bergolak, mulai dari sang menteri yang aku sebut di atas sampai persoalan "4 dikali 6 atau 6 dikali 4". Fasilitas yang disediakan media sosial berupa ruang bebas untuk bersuara menyebabkan retorika dan opini yang muncul pun begitu beragam.
Nah, di tengah riuhnya pertukaran opini ini, sikapku pun tidak berubah. Seringkali aku menyetujui pendapat di satu sisi, namun tidak menyetujui pendapat di sisi lainnya karena bisa jadi pendapat yang aku setujui punya titik-titik retorika yang cacat, atau pendapat yang tidak aku sepakati punya nilai kebenaran di lihat dari sudut yang lain.
Namun sepertinya, bagi para partisan, agak sulit untuk memiliki ruang kompromi. Bagi mereka, mungkin, semua pihak yang berseberangan dengan apa atau siapa yang mereka perjuangkan harus dilihat secara total sebagai lawan atau musuh; tidak ada sedikitpun ruang untuk melihat kebaikan mereka.
Begitupun dengan para pihak yang menyuarakan kesetujuan terhadap opini-opini mereka, seringkali tidak ada ruang untuk melihatnya dalam kacamata yang lebih kritis. Tidak sedikit contoh di mana para partisan menyebarkan informasi yang mendukung cause mereka namun kemudian informasi tersebut terbukti hoax atau misinformasi. Sudah kepalang tersebar, nggak bisa ditarik lagi. Malu jadinya.
Mungkin tidak banyak juga yang berpikir sepertiku, bahwa bersikap hitam putih dalam hal dukung-mendukung dan menyikapi isu-isu politik bisa jadi bukan sikap yang tepat. Politik adalah masalah siasat, kadang-kadang siasat itupun mengharuskan para pelaku politik untuk bersikap fleksibel, untuk tidak mengatakan plin-plan. Kadang-kadang, ide atau ideologi yang membuat kita mendukung suatu sosok atau kelompok politik tertentu harus dibengkokkan demi mencapai kepentingan tertentu. Bahasa beratnya, pragmatis.
Makanya, menurutku sih nggak perlu ekstrim-ekstrim amat mendukung atau memusuhi pihak politik tertentu. Kata peribahasa itu, tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Mungkin terlalu simplistik, tapi bisa jadi ada benarnya. Kita nggak pernah tahu sampai kapan sosok atau kelompok yang kita dukung akan tetap dalam pendiriannya. Dan kita juga nggak tau sampai kapan sosok dan kelompok yang kita selisihi akan berdiri di atas sesuatu yang tidak kita sepakati. Sepanjang ada kepentingan, semua itu bisa saja berubah-ubah.
Apalagi kalo kita harus mengorbankan keakraban dengan kerabat dan sahabat hanya karena kurang fleksibel dalam hal dukung-mendukung figur politik.
Ah, sayang sekali. Dunia terlalu indah untuk sekadar dibikin ribut-ribut urusan pilkada.
Jangan gitu-gitu amat, ah.
Sabtu, 12 Maret 2016
Agama dan Spiritualitas,
Resensi,
Seni dan Hiburan
0
komentar
Barakah: Menggali Kemilau Tradisi
Tahun 2014, 2015, dan 2016 merupakan tahun-tahun yang produktif bagi Sami Yusuf. Setelah meluncurkan The Centre pada 2014 dan Songs of The Way pada 2015 lalu, musisi Inggris kelahiran Teheran ini kembali meluncurkan album di bawah label Andante Studios. Album ketujuhnya ini (kedelapan, jika kita memasukkan Without You yang masih dipersoalkan keabsahannya) diberi judul Barakah. Album ini memiliki track list sebagai berikut:
1. The Parties
2. Inna Fil Jannati
3. Hamziyya
4. Ya Rasul Allah 1
5. Ya Rasul Allah 2
6. Fiyashiyya
7. Ya Nabi
8. Ben Yururum Yane Yane
9. Araftul Hawa
10. Ya Hayyu Ya Qayyum
11. Taha
12. Asheqan
13. Barakah
14. The Iron
Berbeda dengan album-album sebelumnya, Barakah dimulakan dan diakhiri dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Di awal album kita akan mendengarkan seorang qari membacakan beberapa ayat surah Al-Ahzab, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Parties, dan di akhir album kembali dibacakan beberapa ayat Al-Qur’an, kali ini beberapa ayat surah Al-Hadid yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Iron. Hal ini sepertinya menyesuaikan dengan tradisi komunitas Muslim yang biasa mengawali acara-acara resmi dan perkumpulan dengan bacaan Al-Qur’an.
Begitupun dengan keseluruhan track album ini, Sami Yusuf kali ini memilih untuk tidak melakukan sendiri proses kreatif penulisan lagu-lagu dalam keseluruhan album ini. Dalam album ini beliau mendendangkan lagu-lagu yang bersumber dari syair, nasyid, dan musik sufi yang sudah menjadi tradisi dan masyhur di peradaban-peradaban Islam. Sebut saja lagu Fiyashiyya yang merupakan qasidah tradisional yang populer di Maroko, Ben Yururum Yane Yane yang merupakan syair gubahan penyair sekaligus sufi Turki terkenal Yunus Emre, serta Araftul Hawa yang liriknya dinisbatkan kepada Rabi’ah Al Adawiyah.
Beragamnya tradisi yang menjadi sumber album ini juga menjadikannya sangat berwarna dalam hal musikalitas. Tidak seperti My Ummah yang kental nuansa pop Arab atau The Centre yang bernuansa Persia, lagu-lagu dalam album ini dinyanyikan dalam nuansa yang sangat beragam. Ketika mendengarkan senandung Ya Nabi kita akan disuguhi musik berirama India dengan lirik berbahasa Arab, sementara Ben Yururum Yane Yane akan mengingatkan kita pada irama musik yang biasa digunakan dalam pertunjukan tarian sufi atau whirling dervishes di semenanjung Anatolia. Susunan musik dalam album ini pun tidak begitu “berat” dan tidak menggunakan banyak alat musik strings seperti dalam album-album sebelumnya. Beberapa lagu bahkan dinanyikan secara acapella atau hanya menggunakan tabuhan rebana.
Di tengah tren seni Islam kekinian yang semakin mengikut arus budaya pop, album ini hadir layaknya angin segar. Barakah membuktikan bahwa seni Islam memiliki warisan-warisan tersendiri yang tersebar dari Andalusia hingga anak benua India. Ia hadir sebagai bentuk ekspresi kecintaan hamba pada Tuhan dan RasulNya, dengan bernafaskan budaya-budaya lokal, serta dapat dikemas dengan sangat bagus tanpa harus mengkompromikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Album Barakah dapat didengarkan di sini.
1. The Parties2. Inna Fil Jannati
3. Hamziyya
4. Ya Rasul Allah 1
5. Ya Rasul Allah 2
6. Fiyashiyya
7. Ya Nabi
8. Ben Yururum Yane Yane
9. Araftul Hawa
10. Ya Hayyu Ya Qayyum
11. Taha
12. Asheqan
13. Barakah
14. The Iron
Berbeda dengan album-album sebelumnya, Barakah dimulakan dan diakhiri dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Di awal album kita akan mendengarkan seorang qari membacakan beberapa ayat surah Al-Ahzab, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Parties, dan di akhir album kembali dibacakan beberapa ayat Al-Qur’an, kali ini beberapa ayat surah Al-Hadid yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Iron. Hal ini sepertinya menyesuaikan dengan tradisi komunitas Muslim yang biasa mengawali acara-acara resmi dan perkumpulan dengan bacaan Al-Qur’an.
Begitupun dengan keseluruhan track album ini, Sami Yusuf kali ini memilih untuk tidak melakukan sendiri proses kreatif penulisan lagu-lagu dalam keseluruhan album ini. Dalam album ini beliau mendendangkan lagu-lagu yang bersumber dari syair, nasyid, dan musik sufi yang sudah menjadi tradisi dan masyhur di peradaban-peradaban Islam. Sebut saja lagu Fiyashiyya yang merupakan qasidah tradisional yang populer di Maroko, Ben Yururum Yane Yane yang merupakan syair gubahan penyair sekaligus sufi Turki terkenal Yunus Emre, serta Araftul Hawa yang liriknya dinisbatkan kepada Rabi’ah Al Adawiyah.
Beragamnya tradisi yang menjadi sumber album ini juga menjadikannya sangat berwarna dalam hal musikalitas. Tidak seperti My Ummah yang kental nuansa pop Arab atau The Centre yang bernuansa Persia, lagu-lagu dalam album ini dinyanyikan dalam nuansa yang sangat beragam. Ketika mendengarkan senandung Ya Nabi kita akan disuguhi musik berirama India dengan lirik berbahasa Arab, sementara Ben Yururum Yane Yane akan mengingatkan kita pada irama musik yang biasa digunakan dalam pertunjukan tarian sufi atau whirling dervishes di semenanjung Anatolia. Susunan musik dalam album ini pun tidak begitu “berat” dan tidak menggunakan banyak alat musik strings seperti dalam album-album sebelumnya. Beberapa lagu bahkan dinanyikan secara acapella atau hanya menggunakan tabuhan rebana.
Di tengah tren seni Islam kekinian yang semakin mengikut arus budaya pop, album ini hadir layaknya angin segar. Barakah membuktikan bahwa seni Islam memiliki warisan-warisan tersendiri yang tersebar dari Andalusia hingga anak benua India. Ia hadir sebagai bentuk ekspresi kecintaan hamba pada Tuhan dan RasulNya, dengan bernafaskan budaya-budaya lokal, serta dapat dikemas dengan sangat bagus tanpa harus mengkompromikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Album Barakah dapat didengarkan di sini.
Kamis, 03 Maret 2016
Refleksi,
Resensi,
Seni dan Hiburan
0
komentar
Bajrangi Bhaijaan: Ketika Cinta Menerobos Sekat-sekat.
Seandainya seorang gadis cilik bisu yang berbeda agama, suku, ras, atau bangsa dengan engkau tiba-tiba berdiri di ambang pintumu, tersesat dan terpisah jauh dari orangtuanya, maukah engkau menolongnya, bahkan hingga mengantarnya pulang? Menjawab pertanyaan ini, mungkin banyak dari kita akan secara normatif menjawab “Iya dong, pastinya!” meskipun mungkin kenyataannya banyak dari kita yang seringkali enggan menolong hanya karena sekat-sekat prejudis yang timbul dari pelbagai perbedaan di atas. Nah, film ini berkisah tentang seorang laki-laki yang memilih untuk mendobrak sekat-sekat itu dengan menyeberangi perbatasan dua negara demi mengembalikan seorang gadis kecil yang tersesat dan terpisah amat jauh dari kedua orangtuanya.
Tersebutlah Pawan Kumar Chaturvedi (Salman Khan), seorang pria underachiever namun baik hati. Pawan adalah seorang Hindu yang memuja dewa Bajrangbali –atau biasa dikenal dengan dewa Hanoman- dengan ketaatan tanpa cela. Ketaatan pada Bajrangbali inilah yang menjadikannya pria yang sangat lurus dan jujur, pantang berbohong dan berbuat tidak jujur sekalipun. Di tempat lain, seorang gadis lima tahun bernama Shahida Rauf (Harshaali Malhotra) tinggal bersama kedua orangtuanya di perbukitan hijau desa Sultanpur, di daerah Kashmir yang masuk wilayah Pakistan. Dalam usianya yang lima tahun tersebut, Shahida belum bisa berbicara. Ibu Shahida pun memutuskan untuk membawanya berziarah ke makam wali Nizamuddin Awliya di Delhi untuk berdoa memohon agar Tuhan mengaruniakan Shahida kemampuan berbicara (mungkin semacam tradisi tawasulan atau tabarukan di Indonesia).
Cerita mulai bergulir ketika Shahida kecil terpisah dari ibunya dalam perjalanan pulang ke Pakistan. Nasib mempertemukannya dengan Pawan di Kurukshetra, sebuah daerah di India. Pawan yang lembut hati merasa iba dan membawanya ke Delhi bersamanya. Bersama Rasika (Kareena Kapoor Khan) calon istrinya, Pawan merawat Shahida tanpa mengetahui identitas lengkapnya. Setelah mengetahui bahwa Shahida adalah gadis Muslim asal Pakistan, Dayanand (Sharat Saxena), ayah Rasika sekaligus orang yang menampung Pawan selama tinggal di Delhi, menolak untuk mengizinkan Shahida tinggal di rumahnya. Situasi politik kedua negara yang tengah memanas membuat pengurusan visa dan paspor ditutup. Tak ada jalan lain, Pawan pun harus menerobos perbatasan demi mengembalikan Shahida kepada kedua orangtuanya. Ditemani Chand Nawab (Nawazuddin Siddiqui), seorang reporter Pakistan, Pawan Chaturvedi menempuh perjalanan menembus batas serta menghindari kejaran petugas sampai ke Kashmir wilayah Pakistan.
Tersebutlah Pawan Kumar Chaturvedi (Salman Khan), seorang pria underachiever namun baik hati. Pawan adalah seorang Hindu yang memuja dewa Bajrangbali –atau biasa dikenal dengan dewa Hanoman- dengan ketaatan tanpa cela. Ketaatan pada Bajrangbali inilah yang menjadikannya pria yang sangat lurus dan jujur, pantang berbohong dan berbuat tidak jujur sekalipun. Di tempat lain, seorang gadis lima tahun bernama Shahida Rauf (Harshaali Malhotra) tinggal bersama kedua orangtuanya di perbukitan hijau desa Sultanpur, di daerah Kashmir yang masuk wilayah Pakistan. Dalam usianya yang lima tahun tersebut, Shahida belum bisa berbicara. Ibu Shahida pun memutuskan untuk membawanya berziarah ke makam wali Nizamuddin Awliya di Delhi untuk berdoa memohon agar Tuhan mengaruniakan Shahida kemampuan berbicara (mungkin semacam tradisi tawasulan atau tabarukan di Indonesia).
Cerita mulai bergulir ketika Shahida kecil terpisah dari ibunya dalam perjalanan pulang ke Pakistan. Nasib mempertemukannya dengan Pawan di Kurukshetra, sebuah daerah di India. Pawan yang lembut hati merasa iba dan membawanya ke Delhi bersamanya. Bersama Rasika (Kareena Kapoor Khan) calon istrinya, Pawan merawat Shahida tanpa mengetahui identitas lengkapnya. Setelah mengetahui bahwa Shahida adalah gadis Muslim asal Pakistan, Dayanand (Sharat Saxena), ayah Rasika sekaligus orang yang menampung Pawan selama tinggal di Delhi, menolak untuk mengizinkan Shahida tinggal di rumahnya. Situasi politik kedua negara yang tengah memanas membuat pengurusan visa dan paspor ditutup. Tak ada jalan lain, Pawan pun harus menerobos perbatasan demi mengembalikan Shahida kepada kedua orangtuanya. Ditemani Chand Nawab (Nawazuddin Siddiqui), seorang reporter Pakistan, Pawan Chaturvedi menempuh perjalanan menembus batas serta menghindari kejaran petugas sampai ke Kashmir wilayah Pakistan.
Wikipedia mengklasifikasikan film ini sebagai film drama-comedy. Klasifikasi yang tidak salah, karena memang di sepanjang film cukup banyak adegan-adegan yang mengundang tawa. Contohnya ketika Pawan yang kelewat jujur dan polos meminta izin dari petugas perbatasan setelah menyeberangi pagar besi secara sembunyi-sembunyi lewat terowongan. Belum lagi kelucuan yang timbul akibat perbedaan budaya dan agama, seperti Shahida yang tidak suka kare vegetarian yang disajikan istri Dayanand lari ke rumah tetangga yang beragama Islam demi bisa makan ayam.
Sisi dramatis dalam film ini juga sangat heart-warming. mengajak kita untuk menerobos sekat-sekat perbedaan yang seringkali merintangi kita untuk sekedar berbuat baik kepada sesama manusia. Tokoh Pawan dalam film ini menggambarkan dengan apik bahwa cinta tidak melulu hadir atas dasar ketertarikan seksual, dan dapat mewujud dengan baik melalui sifat welas asih yang ditunjukkan Pawan kepada Shahida. Welas asih yang tidak memandang sekat-sekat Hindustan atau Pakistan, bersimpuh di masjid atau menunduk kepada patung Bajrangbali di kuil. Welas asih yang universal.
Khazanah perfilman Bollywood seringkali dipandang sebelah mata oleh makhluk-makhluk Indonesia kelas menengah. Padahal, terkadang muncul juga film-fulm yang setelah menontonnya menyisakan berjuta bahan renungan. Bajrangi Bhaijaan ini salah satunya. Menontonnya membuat kita merenungi dan menelaah kembali mengenai keberagaman, apakah ia menjadi sumber keindahan atau justru menghalangi kita dari melihat rasa kemanusiaan dalam diri orang lain.
Senin, 29 Februari 2016
Agama dan Spiritualitas,
Jatinangor,
Refleksi
0
komentar
Insiden (In)sensitif Ahad Pagi
Hari Minggu yang redup.
Bangunan itu terlihat sepi, sebuah warung kopi tempat aku berencana menghabiskan sarapanku pagi itu. Dua bangku panjang yang biasanya disesaki para pengunjung saat itu melompong, menyisakan banyak ruang kosong. Akupun masuk dan memesan makanan, lalu mengambil tempat di sudut dekat pintu masuk.
Dari speaker aktif yang dipasang di warung tersebut terdengar suara laki-laki sedang berceramah. Rupanya tengah diputar sebuah audio ceramah yang berformat conversion story, kisah pengalaman hidup seseorang yang dahulunya seorang Kristen kemudian masuk Islam. Volume speaker yang disetel keras-keras membuat ceramah yang tengah diputar itu mungkin bisa terdengar sampai luar.
Akupun memasang earphone di telinga, playlist di telepon genggamku tengah memainkan qasidah gubahan Rumi yang dinyanyikan oleh Sami Yusuf diiringi hentakan rebana dan petikan tanbour. Akupun mulai membaca buku kumpulan cerpen yang aku bawa untuk menemani aktifitas sarapan pagiku saat itu.
Aku tidak tertarik sama sekali dengan ceramah agama yang tengah diputar.
Bukannya aku tidak suka mendengarkan ceramah. Di komputer pribadiku pun tersimpan beberapa folder audio ceramah, dan setahuku akupun tidak pernah tidur tiap khotbah Jum'at. Akan tetapi, memang tidak pernah tertarik dengan ceramah berformat conversion story yang dituturkan orang-orang yang katanya para mantan pemuka agama tetangga. Dengan segala hormat, berbeda dengan kisah masuk Islamnya para abang-abang bule yang biasanya sarat renungan eksistensial mengenail tujuan hidup manusia, kisah masuk Islamnya para mantan pemuka agama yang banyak beredar di Indonesia rata-rata hanya berisi cercaan-cercaan terhadap agama yang dulu dianutnya.
Bahasa gaulnya, jelek-jelekin mantan, dalam hal ini mantan agamanya. Begitupun dengan ceramah yang saat itu tengah diputar, sang lelaki yang tak terlihat wajahnya itu tengah memaparkan borok-borok yang ada di agama lamanya.
Sebagai pemeluk agama, aku juga percaya pada salvific exclusivity yang ada di agamaku, yaitu keyakinan bahwa yang aku peluk saat ini adalah jalan keselamatan satu-satunya. Meskipun, pada dasarnya selamat atau tidak selamat itu hak mutlak Tuhan untuk menentukan. Di sisi lain, aku juga percaya pada golden rule yang menyatakan bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan". Dalam hal ini, sebagai seorang Muslim yang ingin dihormati sensitifitasnya, aku juga cenderung untuk menjaga sensitifitas pemeluk agama lain.
Maka aku tidak sepakat kalau harus memutar audio conversion story dengan konten provokatif di area publik, keras-keras pula.
Mie goreng telur di mangkokku sudah habis setengahnya, dan uap yang tadinya mengepul dari gelas kopiku sudah tinggal segaris tipis ketika serombongan orang memasuki warkop. Suasana yang tadinya lengang jadi penuh sesak setelah sepasang suami istri dan dua anaknya, seorang wanita sepuh, serta dua orang lelaki menyerbu masuk. Mereka memenuhi ruang-ruang kosong dua bangku panjang itu.
Sekilas aku melihat raut ketidaknyamanan di wajah si ibu muda itu, kenapa ya?
Beberapa saat kemudian aku menemukan jawabannya: sang wanita sepuh terlihat mengenakan sebentuk rosario, untaian manik-manik yang diujungnya terdapat bandul salib kecil yang di atasnya terdapat ukiran seorang lelaki yang diyakini sebagian orang sebagai Yesus.
Aku menelan ludahku yang mendadak terasa kecut. Mereka orang-orang Kristen.
Di tengah jeda senandung-senandung qasidah yang memenuhi rongga telingaku, aku memperhatikan bahwa ceramah tersebut kini berhenti, dan untungnya tidak terjadi keributan atau semacamnya. Mereka menikmati sarapan mereka sambil mengobrol dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Hentakan rebana, petikan tanbour dan santur, maupun tiupan nay yang menggetarkan rongga telingaku tak bisa menghempas segulung perasaan yang menyelimutiku saat itu. Sebuah perasaan yang mungkin kurang tepat juga jika dipadankatakan dengan "canggung":
Awkward.
Ah, aku harap ketidaknyamanan itu tidak mengendap dan berubah menjadi prasangka, dan semoga kita bisa belajar untuk saling menjaga sensitifitas.
Bangunan itu terlihat sepi, sebuah warung kopi tempat aku berencana menghabiskan sarapanku pagi itu. Dua bangku panjang yang biasanya disesaki para pengunjung saat itu melompong, menyisakan banyak ruang kosong. Akupun masuk dan memesan makanan, lalu mengambil tempat di sudut dekat pintu masuk.
Dari speaker aktif yang dipasang di warung tersebut terdengar suara laki-laki sedang berceramah. Rupanya tengah diputar sebuah audio ceramah yang berformat conversion story, kisah pengalaman hidup seseorang yang dahulunya seorang Kristen kemudian masuk Islam. Volume speaker yang disetel keras-keras membuat ceramah yang tengah diputar itu mungkin bisa terdengar sampai luar.
Akupun memasang earphone di telinga, playlist di telepon genggamku tengah memainkan qasidah gubahan Rumi yang dinyanyikan oleh Sami Yusuf diiringi hentakan rebana dan petikan tanbour. Akupun mulai membaca buku kumpulan cerpen yang aku bawa untuk menemani aktifitas sarapan pagiku saat itu.
Aku tidak tertarik sama sekali dengan ceramah agama yang tengah diputar.
Bukannya aku tidak suka mendengarkan ceramah. Di komputer pribadiku pun tersimpan beberapa folder audio ceramah, dan setahuku akupun tidak pernah tidur tiap khotbah Jum'at. Akan tetapi, memang tidak pernah tertarik dengan ceramah berformat conversion story yang dituturkan orang-orang yang katanya para mantan pemuka agama tetangga. Dengan segala hormat, berbeda dengan kisah masuk Islamnya para abang-abang bule yang biasanya sarat renungan eksistensial mengenail tujuan hidup manusia, kisah masuk Islamnya para mantan pemuka agama yang banyak beredar di Indonesia rata-rata hanya berisi cercaan-cercaan terhadap agama yang dulu dianutnya.
Bahasa gaulnya, jelek-jelekin mantan, dalam hal ini mantan agamanya. Begitupun dengan ceramah yang saat itu tengah diputar, sang lelaki yang tak terlihat wajahnya itu tengah memaparkan borok-borok yang ada di agama lamanya.
Sebagai pemeluk agama, aku juga percaya pada salvific exclusivity yang ada di agamaku, yaitu keyakinan bahwa yang aku peluk saat ini adalah jalan keselamatan satu-satunya. Meskipun, pada dasarnya selamat atau tidak selamat itu hak mutlak Tuhan untuk menentukan. Di sisi lain, aku juga percaya pada golden rule yang menyatakan bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan". Dalam hal ini, sebagai seorang Muslim yang ingin dihormati sensitifitasnya, aku juga cenderung untuk menjaga sensitifitas pemeluk agama lain.
Maka aku tidak sepakat kalau harus memutar audio conversion story dengan konten provokatif di area publik, keras-keras pula.
Mie goreng telur di mangkokku sudah habis setengahnya, dan uap yang tadinya mengepul dari gelas kopiku sudah tinggal segaris tipis ketika serombongan orang memasuki warkop. Suasana yang tadinya lengang jadi penuh sesak setelah sepasang suami istri dan dua anaknya, seorang wanita sepuh, serta dua orang lelaki menyerbu masuk. Mereka memenuhi ruang-ruang kosong dua bangku panjang itu.
Sekilas aku melihat raut ketidaknyamanan di wajah si ibu muda itu, kenapa ya?
Beberapa saat kemudian aku menemukan jawabannya: sang wanita sepuh terlihat mengenakan sebentuk rosario, untaian manik-manik yang diujungnya terdapat bandul salib kecil yang di atasnya terdapat ukiran seorang lelaki yang diyakini sebagian orang sebagai Yesus.
Aku menelan ludahku yang mendadak terasa kecut. Mereka orang-orang Kristen.
Di tengah jeda senandung-senandung qasidah yang memenuhi rongga telingaku, aku memperhatikan bahwa ceramah tersebut kini berhenti, dan untungnya tidak terjadi keributan atau semacamnya. Mereka menikmati sarapan mereka sambil mengobrol dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Hentakan rebana, petikan tanbour dan santur, maupun tiupan nay yang menggetarkan rongga telingaku tak bisa menghempas segulung perasaan yang menyelimutiku saat itu. Sebuah perasaan yang mungkin kurang tepat juga jika dipadankatakan dengan "canggung":
Awkward.
Ah, aku harap ketidaknyamanan itu tidak mengendap dan berubah menjadi prasangka, dan semoga kita bisa belajar untuk saling menjaga sensitifitas.
Selasa, 02 Februari 2016
Agama dan Spiritualitas,
Refleksi
0
komentar
Sekelumit Refleksi tentang Hijrah
Siang itu, aula gedung B tidak seramai biasanya. Ruang ini biasa digunakan untuk kuliah-kuliah umum lintas kelas, bahkan lintas program studi. Jika sedang mencapai titik puncaknya, ruang itu bisa disesaki ratusan mahasiswa yang menimbulkan dengungan riuh rendah yang ditimbulkan beragam aktifitas: ada yang duduk bergerombol sambil ngerumpi dengan geng-nya, ada yang menyumpal lubang telinganya dengan earphone, ada yang tengah sibuk mengerjakan tugas untuk mata kuliah selanjutnya, dan biasanya masih ada juga yang betul-betul menyimak penjelasan dosen dengan seksama.
Tetapi siang itu, keramaian yang biasa menghangatkan ruangan besar ini seolah diredam. Mungkin karena penghuninya yang tidak sebanyak biasanya, mata kuliah yang menarik, atau mahasiswa-mahasiswa yang memilih bersikap hormat (untuk tidak mengatakan kasihan) kepada dosen senior yang tengah menerangkan materi hari itu dan memutuskan untuk tidak membebani sarafnya dengan kemarahan yang disebabkan oleh mahasiswa-mahasiswa miskin etika yang tidak memperhatikan.
“Pelan-pelan aja ‘kan ya Ul?” tanya sosok berkerudung biru muda yang duduk beberapa kursi di sampingku. Suaranya hanya satu atau dua tingkat lebih keras dari bisikan, tapi aku bisa merasakan kegamangan yang mencekat jalan nafas di tenggorokannya. Kepalanya dan sorot pandangnya tertunduk menghujam bumi ketika aku menoleh ke sumber suara.
Gadis di sampingku ini tengah dilanda kebingungan. Pasalnya, salah satu sahabatnya memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota organisasi keislaman di kampus, dan sang sahabat mengajaknya untuk ikut serta. Ia mengiyakan walau dengan berat hati, agaknya. Menurut kisahnya padaku, ia belum siap jika kemudian harus berubah gaya hidupnya secara drastis. Ia tak sepenuhnya siap untuk berhijrah, dan menganggapnya sebagai langkah yang terlalu besar dan berat.
Ketakutan yang agak aneh dan tak berdasar, menurutku. Gadis itu aku kenal sebagai seorang Muslimah yang, setahuku sih, menjalankan agamanya. Tiap hari ia, berpakaian yang menutup kepala sampai kaki, dan hanya menyisakan wajah dan telapak tangannya yang terlihat: kombinasi kerudung, kemeja lengan panjang, dan rok panjang yang selalu ia pakai tiap kuliah. Secara tampilan luar, ia mungkin kompatibel dengan julukan akhwat (menurut pengertian yang politically correct tentunya, bukan seperti pengertian yang terdapat pada label WC Akhwat di masjid-masjid) yang populer di kalangan dakwah kampus. Menurutku sih, ia akan dengan mudah di terima di organisasi dakwah di kampusku sebagai one of them.
Tapi toh rasa tidak layak tetap jauh lebih baik daripada rasa self-righteous, tinggi hati yang timbul dari rasa lebih baik dari orang lain. Bukankah ini yang akhirnya menjebloskan Iblis hingga ia dan keturunannya dikutuk oleh orang beriman hingga akhir zaman? Setidaknya sosok di sampingku ini tahu bahwa, secara manusiawi, ia punya salah dan dosa yang mungkin masih membebaninya untuk berhijrah.
Jadi, setelah sejenak berpikir dan menghela nafas, akupun menjawab dengan suara tak kalah perlahan.
“Iya, pelan-pelan aja.”
Hijrah
Secara tradisional, kata ini merujuk kepada peristiwa emigrasi sejumlah besar pengikut Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib demi menghindari penindasan Quraisy. Emigrasi besar-besaran ini menjadikan Yatsrib sebagai pusat konsolidasi dan ibukota negara Islam sampai masa empat khalifah awal, serta melahirkan dua kelas sosial yang terdapat pada komunitas Muslim saat itu: Muhajirin, yaitu orang-orang Quraisy yang beremigrasi dari Makkah; serta Anshar, yaitu penduduk Yatsrib yang membantu serta menerima para emigran Makkah dengan tangan terbuka. Peristiwa ini juga menjadi penanda awal tahun Hijriah atau Anno Hegirae, penanggalan Islam yang didasarkan pada peredaran bulan.
Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Menurut KBBI, kata “hijrah” bermakna 1 n perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah; 2 v berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya);
Hijrah dalam konteks tulisan ini adalah proses keberagamaan di mana seseorang yang tadinya tak begitu saleh memutuskan untuk menjalani kehidupan yang lebih relijius, biasanya disertai juga dengan meninggalkan kehidupan dan lingkungan lamanya yang tidak kondusif untuk perkembangan spiritualnya. Dalam hal ini perpindahan yang terkandung dalam sense kata “hijrah” dimaknai secara metaforis sebagai perpindahan dari fase kehidupan yang tidak begitu Islami menjadi kehidupan yang lebih relijius serta berupaya agar lebih dekat kepada Tuhan. Fenomena ini cukup marak terjadi pada beberapa artis dan selebritis Indonesia, misalnya almarhum Gito Rollies, Sakti Sheila On 7 (yang belakangan berganti nama menjadi Salman Al-Jugjawy) atau Noor “Ucay” Al-Kautsar, mantan personil Rocket Rockers.
Hijrah juga menjadi tema sentral dari beberapa karya seni Islami yang beredar di Indonesia. Masih ingat film dan serial TV Kiamat Sudah Dekat? Film ini mengisahkan perjalanan spiritual Fandy, vokalis band Dongkoll yang memutuskan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih rajin beribadah setelah bertemu dan jatuh cinta dengan Sarah, puteri Haji Romli. Novelet laris Ketika Mas Gagah Pergi tulisan Helvy Tiana Rosa juga mengangkat tema yang sama: perjalanan spiritual Gagah, seorang lelaki muda yang berubah menjadi lebih alim, dan konfliknya dengan Gita sang adik perempuan. Pun, jika kita membaca serial Elang karya Afifah Afra, kita akan mendapati denyut-denyut nadi yang senada: seorang pemuda yang tadinya acuh soal agama, tiba-tiba menjelma menjadi sosok seperti dalam lirik lagu pembuka serial Si Doel Anak Sekolahan, yang kerjaannye sembayang mengaji.
Jujur, tadinya aku iri juga rasanya dengan mereka-mereka yang menjalani proses perpindahan metaforis ini. Aku sendiri dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, dan sejak kecil pun aku dididik untuk menjadi sedemikian. Sejak Taman Kanak-kanak aku disekolahkan di sekolah Islam, dan satu-satunya pendidikan dasar dan menengah non-relijius yang pernah aku alami hanya saat Sekolah Menengah Pertama. Begitupun ketika kuliah, organisasi satu-satunya yang menjadi tempatku pernah terdaftar menjadi anggota adalah organisasi masjid fakultas. Pendeknya, segala hal yang berbau relijius sama sekali bukan hal yang asing buatku.
Tunggu, aku sama sekali tak bermaksud untuk tidak bersyukur. Tidak, aku bukannya sedang tidak berterima kasih terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga dan lingkunganku dalam upaya menjadikanku pribadi Muslim yang baik. Itu semua mereka lakukan agar hidupku terarah mengikut garis panduan yang diturunkan Tuhan kepada Rasul terakhirNya, dan aku bersyukur atas itu semua. Hanya saja, semakin bertambahnya usia aku semakin belajar bahwa pengalaman relijius adalah pengalaman yang sifatnya personal. Ianya tidak seperti percobaan sains yang bisa direplikasi untuk memperoleh hasil yang sama. Masing-masing kita menempuh jalan spiritual kita sendiri-sendiri.
Bukankah hati tiap manusia itu unik? Tiap anak Adam adalah satu jenis dirinya sendiri, dan tidak ada dirinya yang lain. Konsekuensinya, pengalaman keagamaan sebagai pengalaman yang intens dan sangat melibatkan hati dan rasa, menurutku sih, juga sangat personal dan unik sifatnya. Jadi, sebenarnya yang aku rindukan hanya pengalaman spiritual yang orisinil, genuine, serta organik. Pasalnya, aku merasa bahwa yang selama ini aku lakukan hanya mengikuti langkah-langkah orang lain, atau menuruti perintah orang-orang lain. Intinya, aku merasa bahwa, dalam beberapa titik, aktifitas relijius yang aku lakukan seolah menjadi hanya taken for granted. Sering tidak ada getaran-getaran hati di dalamnya.
Kadang-kadang bertanya-tanya juga: bagaimana sih rasanya melakukan ibadah seperti yang dirasakan oleh orang-orang yang tadinya berjarak dengan Tuhan, kemudian kembali melaksanakan ruku' dan sujud seolah-olah untuk pertama kalinya?
Tapi kemudian aku tersadar bahwa aku toh tidak sesaleh yang aku kira. Bukankah dalam perjalanan spiritualnya, jalan yang ditempuh seorang hamba sering tidak mulus dan lempeng begitu saja? Sering ada sandungan, naik, bahkan turun ("menjadi Futur adalah hal yang tidak terhindarkan" kata ustadzah Yasmin Mogahed) ketika hati lebih condong kepada kemaksiatan. Aku toh tidak lebih sempurna dari mereka-mereka yang dulunya jauh dari Tuhan. Sebagai manusia, aku juga memiliki banyak hal yang masih perlu untuk diperbaiki. Aku juga masih sering malas-malasan ketika shalat, merasa berat dalam membaca Qur'an walau hanya selembar dua lembar, mata tak tertunduk yang menyasar ke mana-mana, perut yang di isi berdasar panduan nafsu, dll.
Tetapi siang itu, keramaian yang biasa menghangatkan ruangan besar ini seolah diredam. Mungkin karena penghuninya yang tidak sebanyak biasanya, mata kuliah yang menarik, atau mahasiswa-mahasiswa yang memilih bersikap hormat (untuk tidak mengatakan kasihan) kepada dosen senior yang tengah menerangkan materi hari itu dan memutuskan untuk tidak membebani sarafnya dengan kemarahan yang disebabkan oleh mahasiswa-mahasiswa miskin etika yang tidak memperhatikan.
“Pelan-pelan aja ‘kan ya Ul?” tanya sosok berkerudung biru muda yang duduk beberapa kursi di sampingku. Suaranya hanya satu atau dua tingkat lebih keras dari bisikan, tapi aku bisa merasakan kegamangan yang mencekat jalan nafas di tenggorokannya. Kepalanya dan sorot pandangnya tertunduk menghujam bumi ketika aku menoleh ke sumber suara.
Gadis di sampingku ini tengah dilanda kebingungan. Pasalnya, salah satu sahabatnya memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota organisasi keislaman di kampus, dan sang sahabat mengajaknya untuk ikut serta. Ia mengiyakan walau dengan berat hati, agaknya. Menurut kisahnya padaku, ia belum siap jika kemudian harus berubah gaya hidupnya secara drastis. Ia tak sepenuhnya siap untuk berhijrah, dan menganggapnya sebagai langkah yang terlalu besar dan berat.
Ketakutan yang agak aneh dan tak berdasar, menurutku. Gadis itu aku kenal sebagai seorang Muslimah yang, setahuku sih, menjalankan agamanya. Tiap hari ia, berpakaian yang menutup kepala sampai kaki, dan hanya menyisakan wajah dan telapak tangannya yang terlihat: kombinasi kerudung, kemeja lengan panjang, dan rok panjang yang selalu ia pakai tiap kuliah. Secara tampilan luar, ia mungkin kompatibel dengan julukan akhwat (menurut pengertian yang politically correct tentunya, bukan seperti pengertian yang terdapat pada label WC Akhwat di masjid-masjid) yang populer di kalangan dakwah kampus. Menurutku sih, ia akan dengan mudah di terima di organisasi dakwah di kampusku sebagai one of them.
Tapi toh rasa tidak layak tetap jauh lebih baik daripada rasa self-righteous, tinggi hati yang timbul dari rasa lebih baik dari orang lain. Bukankah ini yang akhirnya menjebloskan Iblis hingga ia dan keturunannya dikutuk oleh orang beriman hingga akhir zaman? Setidaknya sosok di sampingku ini tahu bahwa, secara manusiawi, ia punya salah dan dosa yang mungkin masih membebaninya untuk berhijrah.
Jadi, setelah sejenak berpikir dan menghela nafas, akupun menjawab dengan suara tak kalah perlahan.
“Iya, pelan-pelan aja.”
* * *
Hijrah
Secara tradisional, kata ini merujuk kepada peristiwa emigrasi sejumlah besar pengikut Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib demi menghindari penindasan Quraisy. Emigrasi besar-besaran ini menjadikan Yatsrib sebagai pusat konsolidasi dan ibukota negara Islam sampai masa empat khalifah awal, serta melahirkan dua kelas sosial yang terdapat pada komunitas Muslim saat itu: Muhajirin, yaitu orang-orang Quraisy yang beremigrasi dari Makkah; serta Anshar, yaitu penduduk Yatsrib yang membantu serta menerima para emigran Makkah dengan tangan terbuka. Peristiwa ini juga menjadi penanda awal tahun Hijriah atau Anno Hegirae, penanggalan Islam yang didasarkan pada peredaran bulan.
Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Menurut KBBI, kata “hijrah” bermakna 1 n perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah; 2 v berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya);
Hijrah dalam konteks tulisan ini adalah proses keberagamaan di mana seseorang yang tadinya tak begitu saleh memutuskan untuk menjalani kehidupan yang lebih relijius, biasanya disertai juga dengan meninggalkan kehidupan dan lingkungan lamanya yang tidak kondusif untuk perkembangan spiritualnya. Dalam hal ini perpindahan yang terkandung dalam sense kata “hijrah” dimaknai secara metaforis sebagai perpindahan dari fase kehidupan yang tidak begitu Islami menjadi kehidupan yang lebih relijius serta berupaya agar lebih dekat kepada Tuhan. Fenomena ini cukup marak terjadi pada beberapa artis dan selebritis Indonesia, misalnya almarhum Gito Rollies, Sakti Sheila On 7 (yang belakangan berganti nama menjadi Salman Al-Jugjawy) atau Noor “Ucay” Al-Kautsar, mantan personil Rocket Rockers.
Hijrah juga menjadi tema sentral dari beberapa karya seni Islami yang beredar di Indonesia. Masih ingat film dan serial TV Kiamat Sudah Dekat? Film ini mengisahkan perjalanan spiritual Fandy, vokalis band Dongkoll yang memutuskan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih rajin beribadah setelah bertemu dan jatuh cinta dengan Sarah, puteri Haji Romli. Novelet laris Ketika Mas Gagah Pergi tulisan Helvy Tiana Rosa juga mengangkat tema yang sama: perjalanan spiritual Gagah, seorang lelaki muda yang berubah menjadi lebih alim, dan konfliknya dengan Gita sang adik perempuan. Pun, jika kita membaca serial Elang karya Afifah Afra, kita akan mendapati denyut-denyut nadi yang senada: seorang pemuda yang tadinya acuh soal agama, tiba-tiba menjelma menjadi sosok seperti dalam lirik lagu pembuka serial Si Doel Anak Sekolahan, yang kerjaannye sembayang mengaji.
* * *
Jujur, tadinya aku iri juga rasanya dengan mereka-mereka yang menjalani proses perpindahan metaforis ini. Aku sendiri dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, dan sejak kecil pun aku dididik untuk menjadi sedemikian. Sejak Taman Kanak-kanak aku disekolahkan di sekolah Islam, dan satu-satunya pendidikan dasar dan menengah non-relijius yang pernah aku alami hanya saat Sekolah Menengah Pertama. Begitupun ketika kuliah, organisasi satu-satunya yang menjadi tempatku pernah terdaftar menjadi anggota adalah organisasi masjid fakultas. Pendeknya, segala hal yang berbau relijius sama sekali bukan hal yang asing buatku.
Tunggu, aku sama sekali tak bermaksud untuk tidak bersyukur. Tidak, aku bukannya sedang tidak berterima kasih terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga dan lingkunganku dalam upaya menjadikanku pribadi Muslim yang baik. Itu semua mereka lakukan agar hidupku terarah mengikut garis panduan yang diturunkan Tuhan kepada Rasul terakhirNya, dan aku bersyukur atas itu semua. Hanya saja, semakin bertambahnya usia aku semakin belajar bahwa pengalaman relijius adalah pengalaman yang sifatnya personal. Ianya tidak seperti percobaan sains yang bisa direplikasi untuk memperoleh hasil yang sama. Masing-masing kita menempuh jalan spiritual kita sendiri-sendiri.
Bukankah hati tiap manusia itu unik? Tiap anak Adam adalah satu jenis dirinya sendiri, dan tidak ada dirinya yang lain. Konsekuensinya, pengalaman keagamaan sebagai pengalaman yang intens dan sangat melibatkan hati dan rasa, menurutku sih, juga sangat personal dan unik sifatnya. Jadi, sebenarnya yang aku rindukan hanya pengalaman spiritual yang orisinil, genuine, serta organik. Pasalnya, aku merasa bahwa yang selama ini aku lakukan hanya mengikuti langkah-langkah orang lain, atau menuruti perintah orang-orang lain. Intinya, aku merasa bahwa, dalam beberapa titik, aktifitas relijius yang aku lakukan seolah menjadi hanya taken for granted. Sering tidak ada getaran-getaran hati di dalamnya.
Kadang-kadang bertanya-tanya juga: bagaimana sih rasanya melakukan ibadah seperti yang dirasakan oleh orang-orang yang tadinya berjarak dengan Tuhan, kemudian kembali melaksanakan ruku' dan sujud seolah-olah untuk pertama kalinya?
Tapi kemudian aku tersadar bahwa aku toh tidak sesaleh yang aku kira. Bukankah dalam perjalanan spiritualnya, jalan yang ditempuh seorang hamba sering tidak mulus dan lempeng begitu saja? Sering ada sandungan, naik, bahkan turun ("menjadi Futur adalah hal yang tidak terhindarkan" kata ustadzah Yasmin Mogahed) ketika hati lebih condong kepada kemaksiatan. Aku toh tidak lebih sempurna dari mereka-mereka yang dulunya jauh dari Tuhan. Sebagai manusia, aku juga memiliki banyak hal yang masih perlu untuk diperbaiki. Aku juga masih sering malas-malasan ketika shalat, merasa berat dalam membaca Qur'an walau hanya selembar dua lembar, mata tak tertunduk yang menyasar ke mana-mana, perut yang di isi berdasar panduan nafsu, dll.
Bukankah itu semua juga menjadi peluang bagiku untuk Hijrah, berpindah dari ketidaktaatan menuju upaya-upaya kesalehan dengan memperbaiki kesalahan-kesalahanku sebagai hamba yang sering lalai? Mungkin juga ini bisa menjadi perantara bagiku untuk menghadirkan kembali Tuhan dalam getaran-getaran hati, melalui perbaikan-perbaikan diri, taubat yang tak putus-putus, serta doa yang tak pernah berhenti terpanjatkan dalam kesadaranku sebagai manusia yang penuh salah.
Ah, mungkin aku yang salah memaknainya. Mungkin Hijrah tidak melulu sebuah perubahan yang drastis dan overnight. Bisa jadi, ianya adalah sebuah proses perbaikan dan penyucian diri yang berujung ketika Malaikat Maut mengetuk pintu kita. Mungkin juga, perbedaan dari aku dan seorang selebritis glamor yang tadinya tak pernah beribadah hanyalah masalah titik mula. Pada hakikatnya kita tengah menapaki jalan yang sama, berharap untuk dapat menatap wajah Tuhan yang sama.
Allahu a'lam
Langganan:
Komentar (Atom)



- Follow Us on Twitter!
- "Join Us on Facebook!
- RSS
Contact