![]() |
| Poster film Guru Bangsa: Tjokroaminoto |
Sayangnya, tidak semua pengunjung bioskop memiliki antusiasme yang sama. Ketika film ini tayang perdana di bioskop Jatos siang itu, kulihat penontonnya sedikit. Entah karena kalah populer dengan Fast and Furious 7 yang menjadi film terakhir Paul Walker yang juga tengah tayang, atau memang aku memilih waktu tayang yang masih terlalu awal. Yang jelas,di dalam studio 3 siang itu, hanya ada beberapa bangku yang terisi.
![]() |
| Reza Rahadian sebagai Cokroaminoto |
Di film ini digambarkan juga beberapa tokoh yang ikut mewarnai sejarah Indonesia antara lain Semaun (Tanta Ginting), Agus Salim (Ibnu Jamil), dan Kusno/Soekarno (Deva Mahendra). Ada juga beber
apa tokoh lain yang belum pernah aku dengar namanya. Entah memang ada dalam kehidupan Cokroaminoto, ataukah hanya rekaan sebagai pelengkap cerita? Aku tak tahu. Tokoh-tokoh ini antara lain Stella (Chelsea Islan), gadis Indo-Belanda yang khawatir nasibnya akan tidak jelas di negara Indonesia yang menjelang proses persalinan itu; Abdullah Abdad (Alex Abbad), seorang Arab Yaman yang menjadi kakitangan Belanda; ada Haji Garut (Didi Petet) yang perannya cuma membacakan deklamasi diiringi tiupan seruling Sunda.
Film ini menurutku sangat bagus, karena selain menceritakan tentang salah satu babak pergerakan nasional bangsa kita, film ini disajikan dengan tata audio-visual yang menarik nan artistik. Misalnya di beberapa bagian ditampilkan keluarga Cokroaminoto yang menyanyi bersama diiringi iringan piano. Di bagian lain ditampilkan satu babak teater yang ditonton oleh Cokroaminoto. Penataan artistik pada setting tempat pun terlihat sangat apik, contohnya setting rumah Peneleh tempat Cokro sekeluarga tinggal: Sebuah rumah berarsitektur Jawa lengkap dengan sebuah pendopo.
![]() |
| Chelsea Islan sebagai Stella |
Film ini nampaknya ingin menyampaikan dua pesan yang mendasar, yaitu persatuan antar etnis dan anti radikalisme. Di film ini, Cokroaminoto digambarkan mengusahakan persatuan antara etnis Tionghoa dan Jawa, serta menjalin hubungan akrab dengan seorang kyai keturunan Yaman bernama Ibrahim Djamali. Jika dilihat dari perspektif historis, setidaknya menurut Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah, Belanda turut mengarsiteki terjadinya jurang pemisah antara kaum bumiputera dengan etnis Tionghoa dan Arab dengan menempatkan golongan Timur Asing (etnis Tionghoa dan Arab) sebagai warga kelas dua di bawah warga Eropa, dan di atas kaum bumiputera. Dalam film ini, Cokroaminoto juga digambarkan menolak dengan tegas langkah-langkah radikal yang hendak dijalankan oleh pentolan-pentolan Marxis dalam tubuh Sarekat Islam. Beliau digambarkan dengan tegas menolak pengejawantahan ide-ide dalam bentuk revolusi fisik, yang diilhami oleh revolusi kaum Bolshevik di Rusia.
Pada akhirnya, sebuah film sejarah, baik berupa biopic atau film epik, sepatutnya tidak dimaknai sebagai visualisasi murni dari sejarah itu sendiri. Alih-alih, ia seharusnya dipandang sebagai sebuah interpretasi dari sekelompok pekerja seni, mulai dari sutradara, sampai penata suara, terhadap bagian-bagian yang ada dalam narasi sejarah. Pekerja-pekerja seni pun punya ideologi, yang sedikit banyak akan mempengaruhi dan mewarnai interpretasi sejarah yang tertuang dalam bentuk film. Dan toh, sejarah juga tidak monolitik dan terbuka atas berbagai cara dan jenis interpretasi.
Secara umum, film ini sangat bagus untuk ditonton seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tidak hanya generasi muda yang sering dituduh lupa sejarah dan kehilangan nasionalisme, namun juga generasi yang telah berumur, sebagai inspirasi nilai-nilai yang kelak dapat ditanamkan kepada penerus-penerus di bawahnya.





- Follow Us on Twitter!
- "Join Us on Facebook!
- RSS
Contact