Rabu, 15 April 2015

Tjokroaminoto: Sebuah Ulasan

Poster film Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Tanggal 9 April kemarin, mumpung masih tanggal muda dan anggaran masih ada, aku memilih untuk mengisi siangku untuk menonton film biografi (biopic) tentang Haji Umar Said Cokroaminoto, yang berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Berita mengenai akan diluncurkannya film ini sudah aku baca kira-kira seminggu sebelumnya, dan menonton trailernya membuatku cukup antusias karena aku sendiri cukup meminati sejarah dan menyukai film-film fiksi sejarah, baik film epik maupun film biografi. Apalagi dari deretan pemainnya banyak nama-nama yamg tidak bisa diremehkan, seperti Christine Hakim, Reza Rahadian, Chelsea Islan, dan Alex Abbad. Garin Nugroho, yang sebelumnya pernah menggarap biopic Soegijapranata, menjadi sutradara dari film berdurasi 160 menit ini.

Sayangnya, tidak semua pengunjung bioskop memiliki antusiasme yang sama. Ketika film ini tayang perdana di bioskop Jatos siang itu, kulihat penontonnya sedikit. Entah karena kalah populer dengan Fast and Furious 7 yang menjadi film terakhir Paul Walker yang juga tengah tayang, atau memang aku memilih waktu tayang yang masih terlalu awal. Yang jelas,di dalam studio 3 siang itu, hanya ada beberapa bangku yang terisi.

Reza Rahadian sebagai Cokroaminoto
Seperti judulnya, film ini berpusat di sekitar kehidupan Cokroaminoto, menggambarkan sejak masa Cokroaminoto kecil hingga pendirian Sarekat Islam dan masuknya pengaruh Komunisme di tubuh SI melalui Semaun, Darsono, dan Musso yang terpengaruh oleh Henk Sneevliet. Latar tempat dari film ini berada di sekitar Semarang, Jawa Tengah, dan Surabaya, Jawa Timur, sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20.

Di film ini digambarkan juga beberapa tokoh yang ikut mewarnai sejarah Indonesia antara lain Semaun (Tanta Ginting), Agus Salim (Ibnu Jamil), dan Kusno/Soekarno (Deva Mahendra). Ada juga beber
apa tokoh lain yang belum pernah aku dengar namanya. Entah memang ada dalam kehidupan Cokroaminoto, ataukah hanya rekaan sebagai pelengkap cerita? Aku tak tahu. Tokoh-tokoh ini antara lain Stella (Chelsea Islan), gadis Indo-Belanda yang khawatir nasibnya akan tidak jelas di negara Indonesia yang menjelang proses persalinan itu; Abdullah Abdad (Alex Abbad), seorang Arab Yaman yang menjadi kakitangan Belanda; ada Haji Garut (Didi Petet) yang perannya cuma membacakan deklamasi diiringi tiupan seruling Sunda.

Film ini menurutku sangat bagus, karena selain menceritakan tentang salah satu babak pergerakan nasional bangsa kita, film ini disajikan dengan tata audio-visual yang menarik nan artistik. Misalnya di beberapa bagian ditampilkan keluarga Cokroaminoto yang menyanyi bersama diiringi iringan piano. Di bagian lain ditampilkan satu babak teater yang ditonton oleh Cokroaminoto.  Penataan artistik pada setting tempat pun terlihat sangat apik, contohnya setting rumah Peneleh tempat Cokro sekeluarga tinggal: Sebuah rumah berarsitektur Jawa lengkap dengan sebuah pendopo.


Chelsea Islan sebagai Stella
Dari segi akting, kombinasi aktor-aktor veteran dan para pendatang baru membuat kombinasi yang menarik. Reza Rahadian menurutku telah berhasil menangkap semangat berapi-api dalam sosok HOS Cokroaminoto dengan baik. Begitupun dengan tokoh-tokoh yang lain, yang menurutku berhasil memantulkan emosi dari tokoh-tokoh yang diperankan: Semaun, Musso, dan Darsono yang radikal dan tidak sabaran; Stella yang intelek dan penuh keingintahuan; Agus Salim yang seringkali berperan sebagai penengah; Kusno yang berapi-api, dll. Tokoh-tokoh pendukung di film itu pun berperan dengan apik dalam mendukung jalan cerita: mbok Tum yang cerewet; Bagong yang jenaka; sampai bapak-bapak penjual dingklik yang selalu bangga dengan dasi kupu-kupunya.

Film ini nampaknya ingin menyampaikan dua pesan yang mendasar, yaitu persatuan antar etnis dan anti radikalisme. Di film ini, Cokroaminoto digambarkan mengusahakan persatuan antara etnis Tionghoa dan Jawa, serta menjalin hubungan akrab dengan seorang kyai keturunan Yaman bernama Ibrahim Djamali. Jika dilihat dari perspektif historis, setidaknya menurut Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah, Belanda turut mengarsiteki terjadinya jurang pemisah antara kaum bumiputera dengan etnis Tionghoa dan Arab dengan menempatkan golongan Timur Asing (etnis Tionghoa dan Arab) sebagai warga kelas dua di bawah warga Eropa, dan di atas kaum bumiputera.  Dalam film ini, Cokroaminoto juga digambarkan menolak dengan tegas langkah-langkah radikal yang hendak dijalankan oleh pentolan-pentolan Marxis dalam tubuh Sarekat Islam. Beliau digambarkan dengan tegas menolak pengejawantahan ide-ide dalam bentuk revolusi fisik, yang diilhami oleh revolusi kaum Bolshevik di Rusia.

Pada akhirnya, sebuah film sejarah, baik berupa biopic atau film epik, sepatutnya tidak dimaknai sebagai visualisasi murni dari sejarah itu sendiri. Alih-alih, ia seharusnya dipandang sebagai sebuah interpretasi dari sekelompok pekerja seni, mulai dari sutradara, sampai penata suara, terhadap bagian-bagian yang ada dalam narasi sejarah. Pekerja-pekerja seni pun punya ideologi, yang sedikit banyak akan mempengaruhi dan mewarnai interpretasi sejarah yang tertuang dalam bentuk film. Dan toh, sejarah juga tidak monolitik dan terbuka atas berbagai cara dan jenis interpretasi.

Secara umum, film ini sangat bagus untuk ditonton seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tidak hanya generasi muda yang sering dituduh lupa sejarah dan kehilangan nasionalisme, namun juga generasi yang telah berumur, sebagai inspirasi nilai-nilai yang kelak dapat ditanamkan kepada penerus-penerus di bawahnya.  

0 komentar:

Posting Komentar

 
;