Senin, 06 April 2015

Tentang Secangkir Kafein

"Mbok ya kebiasaan ngopimu itu dikurangi."

"Hati-hati lho nanti ususmu jadi item."

"Awas tuh lambungmu. Kamu 'kan pernah kena tipes."

Peringatan-peringatan senada sudah seringkali aku dengarkan dari orang-orang terdekat, terutama keluarga, yang entah kenapa begitu mempersoalkan kebiasaanku minum kopi. Bagiku, tanpa bermaksud untuk tidak menghargai perhatian mereka, peringatan-peringatan itu tidak kuanggap serius. Aku tidak merasa berlebihan dalam mengonsumsi kopi. Tiap hari, kubatasi hanya satu atau dua cangkir, dan dari banyak artikel yang kubaca aku tahu kalau dosisku masih dalam batas aman. Lagipula, aku juga sudah belajar untuk menikmati kopi hitam polos tanpa gula, susu, atau krimer. Riwayat diabetes di keluargaku mengharuskanku untuk mengontrol konsumsi gula yang masuk ke tubuh. Dan toh ternyata tidak ada perbedaan signifikan baik mengonsumsi kopi hitam polos, atau dengan tambahan lain. Rasanya pahit, memang. Tapi toh sensasi segar yang kurasakan tidak banyak berubah.

* * *

Kalau kutelisik, bisa jadi kecintaanku pada minuman hitam ini berawal dari masa kecilku. Sebagai orang Tegal, aku sudah terbiasa menikmati teh sejak kecil. Minuman ini tersedia di berbagai kesempatan, disajikan di berbagai pertemuan dan perjamuan mulai dari majlis ta'lim, acara keluarga, dan tersedia di berbagai
 restoran baik besar maupun kecil.

Di rumahku, dulu waktu aku masih bersekolah di SD, tiap pagi ibuku selalu menyediakan masing-masing satu gelas berisi teh manis hangat yang biasanya aku nikmati setelah sarapan pagi. Teh manis hangat ini tak pernah absen aku seruput sambil menunggu jarum jam beranjak setengah tujuh. Kebiasaan inipun berlanjut sampai aku naik tingkat menjadi siswa seragam putih biru.

Selain itu, orang Tegal punya tradisi "Moci", yaitu menikmati teh dari perkakas minum teh yang terbuat dari tanah liat. Kononnya, aroma dan rasa teh, terutama teh melati, akan terasa lebih mantap jika disajikan melalui piranti tanah liat, baik teko maupun gelasnya. Teh yang disajikan sangat pekat, yaitu satu bungkus teh yang digunakan untuk diseduh dengan 3/4 takaran teko tanah liat yang berukuran tidak begitu besar. Rasanya? Sangat kuat, campuran antara rasa pahit dan sepet yang umumnya dihasilkan oleh teh melati. Disajikan dengan gula batu, teh ini memberikan sensasi segar yang ditimbulkan oleh kafein yang dipadu dengan rasa teh melati yang khas.

Mungkin dari kebiasaan inilah tumbuh kecintaanku akan minuman berkafein. Meskipun kecintaanku pada kopi baru muncul ketika aku SMA, namun kebiasaan rutin minum teh inilah yang mungkin menjadi awal kecanduanku.

Ketika SMA, aku menjadi perantau yang melanjutkan jenjang pendidikan di kota yang cukup jauh dengan kota kelahiranku. Selama tiga tahun jadi perantau di Yogyakarta, aku sudah tidak begitu sering lagi minum teh dipagi hari. Maklum, tinggal di kos sendirian membuatku harus disibukkan dengan keperluanku sendiri tiap pagi, mulai dari membeli makanan untuk sarapan, hingga kadang-kadang mencuci dan menyetrika baju.

Akan tetapi, waktu SMA ini aku mulai agak sering minum kopi, walaupun tidak sesering sekarang ini. Tiap sabtu malam, entah kenapa aku selalu merasa ingin menyeduh kopi.Waktu itu yang masih jadi favoritku adalah kopi instan kelas "ringan" seperti Good Day dan Kopiko Brown Coffee. Waktu itu aku belum mengenal kopi-kopi premium yang dibuat menggunakan mesin Espresso, dan kurang menggemari kopi hitam.

Kebiasaan ini berlanjut sampai sekitar satu tahun kuliah. Aku masih tidak begitu sering ngopi seperti sekarang. Bagiku saat itu, kopi hanya minuman yang aku nikmati sekali-kali di akhir pekan karena tubuhku saat itu masih sensitif kafein: ngopi jam enam sore bisa membuatku terjaga sampai pukul dua pagi. Daripada ambil resiko terlambat kuliah gara-gara begadang, lebih baik minum kopi hanya ketika akhir pekan saja.

Tahun kedua kuliah, aku mulai butuh ngopi. Pasalnya, banyak matakuliah saat itu mengharuskanku untuk melahap banyak bacaan dan membuat esai tentangnya. Alhasil, seringkali minuman hitam itu aku pakai untuk menjadi semacam ramuan yang membuatku tetap terjaga demi tugas. Saat itu juga, aku mulai kecanduan kopi sampai sekarang.

Kalau dulu aku hanya ngopi seminggu sekali, mulai tahun itu aku mulai harus minum kopi setidaknya satu cangkir per hari. Kalau dulu yang aku nikmati hanya kopi-kopi kelas teri yang dijual seribu rupiah per sachet, saat ini malah aku lebih menyukai kopi hitam pekat, bukan lagi kelas instan. Aku juga mulai menjajal espresso-based coffee yang, meskipun harganya agak mahal, mampu membuatku lumayan ketagihan.

Bahkan akhirnya aku pun berencana membuka kedai kopiku sendiri.

* * * 

Bagiku, kopi bukan hanya sekedar minuman manis berperisa seperti sirup atau susu. Bagiku, kopi sangat erat hubungannya dengan aktivitas batin manusia karena kafein yang dikandungnya mempu merangsang otak untuk lebih bekerja.

Konon, dari yang pernah aku baca, kopi dahulu kala digunakan oleh kaum sufi agar mereka mampu dan kuat berzikir semalaman. Kopi juga seringkali digunakan oleh para intelektual untuk merangsang otak mereka agar mampu bekerja, membaca atau menulis. Tak heran, seringkali kita temui orang-orang yang menulis di warung kopi, atau bahkan warung kopi yang merangkap tempat diskusi.

Kopi, dalam sejarahnya, juga menjadi jembatan kedua budaya yang seringkali berbenturan, yaitu budaya Eropa dan Arab/Islam. Dalam sejarahnya, konon orang Eropa pertama kalimengenal kopi dari perbekalan pasukan Turki yang saat itu gagal menaklukkan kota Vienna. Bahkan, kopi, yang menjadi sumber energi bagi para pecinta Tuhan agar kuat menyebut namaNya semalaman, pada akhirnya juga mencapai Vatikan.  

Ada sebuah anekdot yang cukup menggelitik yang konon datangnya dari Paus Clement VII. Kopi yang saat itu dianggap sebagai "minuman orang kafir" atau "minuman setan" di daratan Eropa akhirnya sampai juga kehadapan sang paus. Ketika ia mencicipi secangkir kopi, beliau pun berujar

"Wah, minuman setan ini enak juga. Kita mesti mencurangi para setan itu dengan membaptis minuman mereka ini!"

Anda tersenyum? Sama, saya juga. Kononnya, paus Clement VIII membaptis kopi dan sejak saat itu popularitasnya mulai menyebar ke daratan Eropa.

Entah anekdot di atas mengandung kebenaran ataupun tidak, yang jelas sampai sekarang kopi menjadi minuman yang bisa dikatakan paling populer di dunia. Ia bisa dinikmati kapan saja, pagi sampai malam hari, dan dengan cara apa saja: espresso, Vietnam drip, tubruk, a la Turki, dll.

Namun bagiku, ia bukan sekedar minuman. Ia adalah energi. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;